Sejarah Punk: Sebuah Ideologi yang Disalahpahami Masyarakat

oleh -
Editor: Ardiansyah
Ilustrasi Punk.
Ilustrasi Punk.

BorneoFlash.com, OPINI – Punk sering kali dipandang sebelah mata oleh masyarakat luas. Penampilan nyentrik, rambut berwarna mencolok, pakaian compang-camping, dan musik keras menjadi stereotip yang menempel erat dengan budaya ini. 

 

Sayangnya, banyak yang hanya menilai dari permukaan, tanpa memahami akar sejarah dan nilai ideologis yang sebenarnya terkandung dalam gerakan punk.

 

Gerakan punk lahir pada pertengahan 1970-an di Inggris dan Amerika Serikat sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem yang dianggap tidak adil. Saat itu, banyak anak muda frustrasi dengan kondisi sosial-politik—pengangguran tinggi, ketimpangan ekonomi, dan hilangnya harapan akan masa depan. Punk menjadi saluran ekspresi kemarahan dan keresahan, bukan sekadar gaya hidup liar tanpa arah.

 

Ideologi punk pada dasarnya berpijak pada semangat do-it-yourself (DIY), anti-otoritarianisme, dan kebebasan individu. Mereka menolak sistem kapitalis yang dianggap menindas dan mempromosikan solidaritas sosial, kesetaraan, serta kebebasan berekspresi. Punk tidak mengajarkan kekerasan, melainkan kritik terhadap norma yang membungkam suara-suara kecil.

 

Namun, dalam perjalanannya, ideologi ini kerap disalahartikan. Banyak yang melihat punk hanya sebagai simbol kenakalan remaja atau budaya destruktif. Padahal, di balik tampilannya yang garang, punk adalah bentuk protes yang sah terhadap tatanan yang dinilai tidak berpihak pada kaum tertindas. 

 

Masyarakat seharusnya mulai melihat punk bukan dari sisi luarnya saja, tetapi memahami pesan yang coba disampaikan: bahwa setiap individu punya suara, bahwa ketidakadilan harus dilawan, dan bahwa perbedaan bukanlah ancaman, melainkan kekayaan.

 

Punk dan Anarkisme: Saudara Sekandung dalam Perlawanan

Punk dan anarkisme ibarat dua sisi dari satu koin: sama-sama lahir dari ketidakpuasan, sama-sama memberontak terhadap sistem, dan sama-sama disalahpahami. Banyak orang mengira bahwa keduanya sekadar simbol kekacauan, padahal di balik kegaduhan dan estetika liar mereka, tersembunyi gagasan yang dalam tentang kebebasan, kesetaraan, dan anti-penindasan.

Baca Juga :  Peringati Hari Bakti ke 76 TNI AU, Lanud Dhomber Gelar Konser Denny Caknan

 

Anarkisme: Bukan Kekacauan, tapi Ketiadaan Penindasan

Pertama-tama, penting untuk meluruskan makna anarkisme. Dalam imajinasi umum, kata “anarkis” sering dikaitkan dengan kerusuhan, kekerasan, dan kehancuran. Padahal, secara filosofis, anarkisme adalah paham yang menolak semua bentuk otoritas yang memaksa, terutama negara, militer, dan kapitalisme—dan bukan semata-mata menolak aturan. Tokoh seperti Peter Kropotkin dan Emma Goldman memperjuangkan bentuk masyarakat tanpa hierarki, di mana kerja sama dan solidaritas menjadi dasar kehidupan bersama.

Simak berita dan artikel BorneoFlash lainnya di  Google News

banner 700x135

No More Posts Available.

No more pages to load.