BorneoFlash.com, TANGSEL – Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan dan menahan Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, sebagai tersangka dalam kasus dugaan mega korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, Subholding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023. Kasus ini menyebabkan kerugian negara hingga Rp193,7 triliun.
Profil PT Pertamina Patra Niaga
PT Pertamina Patra Niaga berfokus pada perdagangan olahan minyak bumi serta bertanggung jawab atas distribusi bahan bakar industri, avtur penerbangan, dan pelumas.
Situasi di Kompleks Perumahan Riva Siahaan
Petugas keamanan Cluster Emerald Garden, Bintaro, memperketat akses ke rumah Riva setelah kasus ini mencuat. Mereka hanya mengizinkan penghuni dan kerabat dekat untuk masuk.
Seorang petugas keamanan berinisial G mengungkapkan bahwa empat pria berpakaian tactical terus berjaga di depan rumah Riva. Namun, berdasarkan identitas yang mereka tinggalkan, mereka bukan anggota Polri atau TNI. “Setahu saya, mereka hanya warga sipil yang mengenakan pakaian tactical,” ujar G.
Beberapa pegawai Pertamina terlihat beberapa kali mendatangi rumah Riva, meski tujuan mereka masih belum diketahui. “Mereka hanya datang untuk memantau, lalu pergi lagi,” tambah G.
Penyelidikan Kejagung Berlanjut
Pihak keamanan kompleks memastikan bahwa penjagaan ketat tetap diberlakukan selama penyidikan berlangsung. Kejagung berencana menggeledah rumah Riva pada Jumat (28/2/2025) guna mencari tambahan barang bukti. “Kami mendapat informasi bahwa Kejaksaan akan datang besok, mungkin untuk mencari bukti tambahan,” kata G.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menyatakan bahwa penyidik masih melakukan penggeledahan di Cilegon. “Jika ada perkembangan terkait rumah RS, akan kami informasikan lebih lanjut,” katanya.
Modus Korupsi yang Dilakukan Riva Siahaan
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, mengungkapkan bahwa Riva membeli minyak mentah RON 90 (Pertalite), lalu mencampurnya (blending) menjadi RON 92 (Pertamax). Namun, pembayaran dilakukan dengan harga RON 92, bukan RON 90, sehingga negara mengalami kerugian besar.
“Modusnya, minyak RON 90 dibeli, tetapi dibayar dengan harga RON 92, lalu dioplos menjadi Pertamax,” jelas Qohar dalam konferensi pers di Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa (25/2/2025).
Praktik pengoplosan ini terjadi dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga. Padahal, peraturan yang berlaku melarang proses blending di depo.
Qohar menegaskan bahwa Kejagung akan membuka semua informasi terkait kasus ini setelah penyidikan selesai. “Kami tidak akan menutup-nutupi. Semua akan kami sampaikan agar masyarakat bisa mengakses informasi ini,” pungkasnya.
Selain Riva Siahaan, Kejagung juga menetapkan enam orang lainnya sebagai tersangka. Penyelidikan terus berlanjut untuk mengungkap seluruh jaringan korupsi yang terlibat. (*)