BorneoFlash.com, JAKARTA – Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional, Fajarini Puntodewi, menyatakan Indonesia sudah aktif mengekspor beras premium dan eksotis. Meski belum merinci volume ekspor, ia menegaskan permintaan dari kawasan ASEAN cukup tinggi.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman juga mengungkap Malaysia ingin mengimpor beras dari Indonesia karena lonjakan harga dan krisis stok.
Namun, ia menegaskan pemerintah tetap memprioritaskan ketahanan pangan nasional sebelum memenuhi permintaan ekspor.
Di dalam negeri, produksi beras meningkat tajam. BPS memperkirakan produksi Januari–Mei 2025 mencapai 16,62 juta ton, naik 12,4% dibandingkan tahun lalu.
Luas panen juga naik 5,53%, terutama di Jawa. Secara keseluruhan, produksi padi diproyeksikan mencapai 28,85 juta ton GKG.
USDA mencatat produksi beras Indonesia pada musim 2024/2025 mencapai 34,6 juta ton (milled basis), naik 4,8% dari tahun lalu, berkat perluasan lahan dan curah hujan yang mendukung. Cadangan beras nasional pun meningkat hampir 5 juta ton tertinggi dalam beberapa tahun terakhir.
Sementara itu, negara lain justru menghadapi tekanan. USDA memprediksi ekspor beras Thailand anjlok 29,2% karena harga tinggi dan turunnya permintaan, termasuk dari Indonesia. Di sisi lain, Kamboja mencetak rekor produksi 7,8 juta ton, sementara Vietnam mulai kehilangan pangsa pasar.
Filipina dan Singapura tetap mengimpor dalam jumlah besar. Singapura bahkan menaikkan pembelian beras hingga 22,8% dan mulai mempertimbangkan pasokan dari Indonesia.
Malaysia menghadapi krisis lebih dalam. Rasio swasembada beras (SSR) mereka turun menjadi 56,2% pada 2023. Target SSR 75% pada 2025 dinilai makin jauh dari jangkauan, bahkan disebut “misi mustahil” oleh BIMB Securities.
Indonesia memanfaatkan momentum harga global yang melemah. Penurunan harga ekspor beras India dan Thailand membuka peluang bagi Indonesia masuk ke pasar regional.
Dengan produksi meningkat, cadangan kuat, dan permintaan tumbuh, Indonesia kini berpeluang menjadi pemain utama beras di ASEAN. Namun, keberhasilan jangka panjang tak hanya bergantung pada panen besar, tetapi juga pada keberlanjutan sistem pertanian nasional. (*)