Sekuler tidak menjadikan kebutuhan spiritual (agama) sebagai sesuatu yang mendesak. Dampak dari hal ini, suasana keimanan dan ketakwaan tidak mewarnai kehidupan sehari-hari. Akhirnya remaja jauh dari pemahaman islam.
Tidak mengerti soal halal haram. Tidak paham tujuan hidup sehingga krisis identitas. Remaja lebih sering menghamburkan waktunya untuk hal tidak berfaedah bahkan merugikan masyarakat dan negara.
Larut dalam aktivitas hura-hura dan melupakan akhiratnya. Jauhnya remaja dari pemahaman islam, membuat remaja tidak punya pegangan kuat untuk mengendalikan naluri eksistensinya yang sedang menggebu-gebu.
Karena itu, remaja tawuran sejatinya membutuhkan pembinaan islam sebagai pengarah shahih gerak-gerik mereka. Pembinaan islam tidak cukup dilemparkan seutuhnya kepada orang tua semata.
Masyarakat dan negara justru memiliki kekuatan besar menyiapkan remaja shalih. Pembentukan kepribadian bermula dari rumah. Kedua orang tua merupakan guru utama dan pertama menanamkan akidah dan akhlak mulia sedini mungkin.
Selanjutnya, masyarakat hadir mendampingi keseharian remaja di lingkungan luar rumah. Masyarakat tegak sebagai kontrol sosial.
Aktivitas dakwah amar makruf nahi mungkar gencar dilakukan. Menghidupkan rasa saling menyayangi sesama saudara, terkhususnya yang seiman. Membenci perbuatan yang menjerumus pada kerusakan.
Terakhir, negara. Negara dengan kekuatan ekonomi, politik, pangan, sosial, pendidikan dan hukum memiliki peran strategis membina remaja menjadi pemuda berkualitas. Remaja butuh sistem pendidikan yang membentuk diri mereka sebagai generasi shalih bukan salah. Kurikulum yang berbasis aqidah islam.
Tentu saja hal itu bukan dari negara sekuler yang jelas-jelas menjerumuskan remaja pada kehancuran. Melainkan negara yang berasaskan pada al-Quran dan Hadist pada setiap bidang kehidupan. Sebab pada pengamalan al-Quran dan hadistlah Allah berjanji akan memberikan kebaikan dunia dan akhirat. (*)
Penulis: Dewi Murni, Praktisi Pendidikan Al-Quran, Balikpapan Selatan.