“Ini sangat penting untuk kita tegaskan mengingat sertifikat halal bukanlah sekedar status administratif semata, melainkan sebagai standar yang harus diterapkan secara kontinyu, sehingga produk benar-benar terjaga kehalalannya secara konsisten,” jelasnya.
Kejadian tersebut, lanjutnya, juga membuktikan pentingnya edukasi, komitmen, dan kesadaran akan tanggung jawab pelaku usaha, seluruh pelaksana layanan sertifikasi halal dan semua pihak terkait dalam penyelenggaraan JPH yang telah menjadi sebuah ekosistem yang luas dan melibatkan banyak aktor. Juga, pentingnya pembinaan dan pengawasan JPH secara terus-menerus.
Aqil juga mengapresiasi pelaporan yang disampaikan oleh masyarakat atas kasus tersebut. Menurutnya, partisipasi masyarakat seperti itu sangat dibutuhkan. Sebab, penyelenggaraan JPH memiliki cakupan yang sangat luas, melibatkan banyak aktor di dalamnya, dan dengan cakupan peredaran produk dengan jenis dan varian yang sangat banyak.
Sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 53, dinyatakan bahwa masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan JPH. Peran serta masyarakat tersebut dapat berupa ikut melakukan sosialisasi mengenai JPH, dan mengawasi produk dan produk halal yang beredar.
Peran serta masyarakat berupa pengawasan produk dan produk halal yang beredar berbentuk pengaduan atau pelaporan ke BPJPH.
Sebelumnya, Jus buah Nabidz, yang sempat diviralkan ‘wine halal’, dipastikan haram oleh MUI. MUI menyatakan fatwa Nabidz ini berdasarkan uji laboratorium terhadap kadar alkohol Nabidz.
Sebagaimana diketahui, produk Nabidz halal ini sempat viral di media sosial. Nabidz yang dimaksud adalah produk red wine dengan merek Nabidz. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa KH Asrorun Ni’am Sholeh menegaskan produk Nabidz haram.
“Komisi Fatwa telah mendapatkan informasi dari tiga uji laboratorium berbeda yang kredibel terkait dengan produk Nabidz. Dari ketiga hasil uji lab tersebut, diketahui bahwa kadar alkohol pada produk Nabidz cukup tinggi, maka haram dikonsumsi muslim,” kata Ni’am yang ditulis di laman MUI, Selasa (22/8).
Temuan tiga laboratorium ini menunjukkan bahwa proses pemberian sertifikasi halal kepada Nabidz tersebut bermasalah.
“Sesuai pedoman dan standar halal yang dimiliki MUI, MUI tidak menetapkan kehalalan produk yang menggunakan nama yang terasosiasi dengan yang haram. Hal ini termasuk dalam hal rasa, aroma, dan kemasan seperti wine. Apalagi jika prosesnya melibatkan fermentasi anggur dengan ragi, persis seperti pembuatan wine,” kata Ni’am.