Selain keterampilan hidroponik juga ada pelatihan lain seperti menjadi barista, menjahit juga membuat kue dan roti.
Banyak warga yang tertarik ikut pelatihan hidroponik, karena selain relatif mudah dan tak perlu modal atau area yang luas. “Awalnya coba dengan satu meja dulu, eh ternyata bisa mendapatkan Rp 1 juta. Wah lumayan juga, sejak itu saya semakin serius untuk mengembangkan dan mengajak teman-teman lain, yang warga sekitar sebanyak 12 orang,” ujar Sri.
Kemudian para petani yang tergabung dalam Kelompok Hidroponik Nusantara memasarkan sendiri hasil kebunnya ke pasar Sepaku. Awalnya para pedagang menolak, karena harganya cukup tinggi dibandingkan sayuran yang non-hidroponik.
Para petani menjualnya seharga Rp 8 ribu per pak, isinya sayuran dari 3-4 lubang tanam. Namun lambat laun, hasil kebunnya diterima dan laris. Bahkan kesulitan memenuhi permintaan pasar.
Menurut Sri, seiring dengan pesatnya pembangunan Nusantara semakin banyak pekerja yang datang membuat kebutuhan sayuran meningkat. Inilah yang membuat sayurannya selalu habis.
“Padahal potensi pasar masih besar, ada kebutuhan salada di Balikpapan yang belum bisa dipenuhi, ada permintaan 100-200 pak setiap hari,” ujarnya.
“Alhamdulillah, baru dapat tambahan modal dari perusahaan BUMN, jadi saya bisa menambah greenhouse bersama teman-teman kelompok,” katanya bersemangat.