Pupuk organik ini, kata Safi’i, dibuat dari kotoran sapi, jerami, sekam, dolomit, dedak dan EM4. Untuk jerami dan bekas pakan ternak harus dicacah terlebih dahulu.
“Campuran kita diamkan untuk berfermentasi menjadi pupuk organik. Dengan proses yang sama, kita bisa menambahkan campuran lainnya di atasnya,” urainya.
Saat ini, ungkap Safi’i, pupuk organik yang diproduksi masih jauh dari sempurna, terutama untuk dipasarkan ke masyarakat, tapi kalangan petani Desa Sempulang sudah banyak yang beli.
“Hasilnya kita belikan perlengkapan dan peralatan pabrik pupuk organik yang kita usahakan. Ini merupakan proses menuju penyempurnaan produk, diantaranya adalah nama dan kemasan produk pupuk organik,” ungkapnya.
Mengapa? Karena produk pupuk organik ini, ucap Safi’i, telah terbukti lebih efektif dan efisien dibandingkan pupuk organik manual (kotoran ternak sapi yang dikeringkan dengan cara dijemur) untuk menyuburkan lahan pertanian.
“Dari kotoran sapi yang kering itu kan sering lihat masih banyak batang-batang rumput. Nah, melalui proses fermentasi, batang-batang rumput benar-benar terurai, sehingga manfaatnya untuk menyuburkan lahan lebih ditingkatkan,” jelasnya.
Dengan kata lain, tambah Safi’i, 2 karung pupuk organik manual setara dengan 2 ember pupuk organik yang diproduksi UMKM Poktan Sumber Rezeki.
“Jika 2 karung pupuk manual harganya Rp 40.000, maka 2 ember pupuk organik yang kita produksi harganya Rp 20.000. Dengan efektifitas yang sama, tapi lebih efisien dari sisi pengeluaran petani,” tambahnya. (Adv)