Belajar dari China: Strategi Indonesia Menghadapi Tarif Bea Masuk AS Tanpa Merugikan Industri

oleh -
Penulis: Wahyuddin Nurhidayat
Editor: Ardiansyah
Karyawan bekerja di jalur perakitan truk di sebuah pabrik manufaktur kendaraan Jianghuai Automobile Group Corp. (JAC), di Qingzhou, provinsi Shandong, Tiongkok Timur. ( Foto: STR/AFP)
Karyawan bekerja di jalur perakitan truk di sebuah pabrik manufaktur kendaraan Jianghuai Automobile Group Corp. (JAC), di Qingzhou, provinsi Shandong, Tiongkok Timur. ( Foto: STR/AFP)

BorneoFlash.com, JAKARTA – Kebijakan tarif bea masuk yang diterapkan Amerika Serikat (AS) memicu ketidakpastian ekonomi global dan mendorong berbagai negara, termasuk Indonesia, untuk melakukan kesepakatan bilateral. Meskipun demikian, pemerintah Indonesia diharapkan tidak panik dan justru menghindari kebijakan yang dapat merugikan industri dalam negeri.

 

Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, menyatakan bahwa pemerintah Indonesia sebaiknya tidak terburu-buru merespons ancaman tarif bea masuk dari AS. Indonesia bisa meniru langkah yang diambil China. Namun, pembelajaran dari China bukan terkait dengan langkah retaliasi, melainkan kebijakan yang mendukung industri dalam negeri.

 

“Jangan karena tekanan dari Amerika, kita malah melonggarkan impor atau menghapus tarif Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Itu akan menjadi langkah panik dari pemerintah. Justru, kita bisa meniru model yang diterapkan oleh China,” ujar Ajib, Senin (5/5/2025).

 

Ajib menjelaskan bahwa China memiliki kekuatan besar di sektor manufaktur, yang juga menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Indonesia dapat meniru empat keunggulan yang dimiliki China.

 

Pertama, biaya energi di China jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia, yang masih menghadapi harga energi tinggi. Meskipun impor energi bisa menjadi opsi dalam negosiasi dengan AS, langkah ini berisiko memperburuk neraca perdagangan Indonesia.

 

Kedua, infrastruktur di China cukup efisien. Rata-rata beban sektor swasta di China tidak lebih dari 13%, sementara di Indonesia masih lebih dari 32%, berdasarkan survei Apindo.

 

Ketiga, pemerintah China memiliki komitmen kuat untuk membangun ekosistem bisnis dengan rantai pasok yang terukur, sehingga nilai tambah dapat dirasakan secara maksimal oleh pelaku pasar. “Hal ini membuat kita kesulitan menciptakan efisiensi bisnis atau biaya ekonomi yang rendah, sehingga kita sulit untuk bersaing,” jelas Ajib.

Baca Juga :  Tingkatkan Kreativitas Anggota, Dispenad Selenggarakan Pendidikan Desain Grafis

 

Keempat, terkait dengan sumber daya manusia (SDM), China tidak pernah menyebutkan bahwa SDM mereka murah, melainkan menekankan pada produktivitas tinggi. Ajib menyarankan agar Indonesia fokus pada peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan, penguatan budaya kerja, dan regulasi yang tepat.

 

Sementara itu, Indonesia masih melakukan negosiasi dagang dengan AS. Meskipun ada tekanan terkait penghapusan pembatasan non-tarif seperti TKDN, Indonesia memiliki daya tawar yang kuat. Salah satunya adalah melalui produk mainan populer asal AS yang diproduksi di Indonesia.

 

Jika tarif timbal balik (reciprocal tariffs) diterapkan, harga produk-produk tersebut dapat melonjak tajam di pasar AS. Sementara itu, pemerintah AS telah memberi sinyal akan mengumumkan sejumlah kesepakatan dagang baru dalam 2-3 pekan ke depan. (*)

Simak berita dan artikel BorneoFlash lainnya di  Google News

banner 700x135

No More Posts Available.

No more pages to load.