Arteria Dahlan Sebut UNODC Nilai Pasal Gratifikasi dalam UU Tipikor Keliru

oleh -
Penulis: Wahyuddin Nurhidayat
Editor: Ardiansyah
Mantan anggota DPR RI dari Fraksi PDI-P, Arteria Dahlan saat ditemui usai sidang dakwaan pengacara Gregorius Ronald Tannur, Lisa Rachmat di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (10/2/2025).(Foto : Syakirun Ni'am)
Mantan anggota DPR RI dari Fraksi PDI-P, Arteria Dahlan saat ditemui usai sidang dakwaan pengacara Gregorius Ronald Tannur, Lisa Rachmat di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (10/2/2025).(Foto : Syakirun Ni'am)

BorneoFlash.com, JAKARTA – Kuasa hukum advokat Lisa Rachmat, Arteria Dahlan, menyatakan bahwa United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) menilai Pasal 12B dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yang mengatur gratifikasi, keliru.

 

Arteria menyampaikan pernyataan ini saat memeriksa Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Hibnu Nugroho, yang hadir sebagai ahli dalam sidang perkara Lisa.

 

Arteria menjelaskan bahwa UNODC, sebagai lembaga pengawas pelaksanaan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), menilai penerapan Pasal 12B di Indonesia tidak tepat.
“Apa hasilnya UNODC? Penerapan Pasal 12B ini keliru di Indonesia.

 

Ini tegas, pengawasnya saja mengatakan pasal undang-undang ini keliru, tapi kita masih mengagung-agungkan undang-undang ini,” ujar Arteria dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (5/5/2025).

 

Arteria menegaskan bahwa UNODC bahkan menilai keseluruhan UU Tipikor di Indonesia terkesan janggal. Ia mempertanyakan ketepatan anggapan bahwa gratifikasi otomatis menjadi suap jika penerimanya tidak melaporkannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam waktu 30 hari. Menurutnya, materi suap dan gratifikasi memiliki perbedaan mendasar.

 

“Dengan mudahnya pasal ini menyatakan gratifikasi dianggap suap. Padahal, hukum zaman kolonial Belanda saja membedakan penganiayaan ringan, penganiayaan berat, penganiayaan yang menyebabkan kematian, pembunuhan, dan pembunuhan berencana,” tegas Arteria. “Ini undang-undang saya katakan aneh. Ternyata bukan hanya saya, Prof, yang bilang aneh, tapi UNODC juga.”

 

Menanggapi hal tersebut, Hibnu Nugroho menyatakan bahwa aturan tentang gratifikasi memang sangat lentur. Ia mengakui bahwa praktik pemberian hadiah seperti untuk ulang tahun atau Lebaran sering masuk kategori gratifikasi dan membuat penerapannya kaku.

Baca Juga :  PTPN V Lakukan Perbaikan Kemitraan di Riau, KPPU Keluarkan Penetapan Penghentian Perkara

 

Oleh karena itu, menurutnya, pembentuk undang-undang perlu membedakan antara gratifikasi yang dilarang dan yang diperbolehkan. “Penerimaan yang diperbolehkan, misalnya, terkait acara ulang tahun atau kearifan lokal yang tidak melampaui batas. Ini saya kira menarik untuk didiskusikan ke depan, karena kalau kearifan—dalam tanda petik—kebablasan, ya masuk kualifikasi gratifikasi,” jelas Hibnu.

 

Dalam perkara ini, jaksa mendakwa Lisa Rachmat menyuap tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya agar mereka menjatuhkan vonis bebas terhadap kliennya, Gregorius Ronald Tannur, dalam kasus pembunuhan. Jaksa juga mendakwa Lisa bersekongkol dengan mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, untuk menyuap hakim agung yang menangani kasasi perkara Ronald Tannur.

 

Selain itu, jaksa mendakwa Zarof menerima gratifikasi senilai Rp 915 miliar dan 51 kilogram emas. Penyidik Kejaksaan Agung menemukan harta dengan total nilai sekitar Rp 1 triliun itu saat mereka menggeledah rumah Zarof di kawasan Senayan, Jakarta. (*)

Simak berita dan artikel BorneoFlash lainnya di  Google News

banner 700x135

No More Posts Available.

No more pages to load.