Namun, tersangka RS, SDS, dan AP diduga melakukan pengkondisian dalam rapat optimalisasi hilir untuk menurunkan produksi kilang secara sengaja. Akibatnya, minyak mentah dari dalam negeri tidak terserap dan justru diekspor, sementara kebutuhan minyak nasional dipenuhi melalui impor dengan harga yang jauh lebih tinggi.
Kecurangan dalam Impor Minyak dan BBM
Kejaksaan mengungkapkan bahwa:
– Minyak mentah dalam negeri sengaja ditolak dengan alasan spesifikasi tidak sesuai dan dianggap tidak ekonomis, sehingga KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) terpaksa mengekspornya.
– Produksi kilang minyak dalam negeri ditekan untuk menciptakan ketergantungan terhadap impor.
– PT Kilang Pertamina Internasional dan PT Pertamina Patra Niaga memenangkan broker minyak secara melawan hukum, membuat harga pembelian impor jauh lebih mahal dibandingkan produksi domestik.
Lebih lanjut, dalam pengadaan impor BBM, Riva Siahaan diduga memerintahkan pengadaan BBM RON 90 (Pertalite) untuk di-blending menjadi RON 92 (Pertamax) di depo, yang seharusnya tidak diperbolehkan secara regulasi.
Akibat manipulasi harga tersebut, harga indeks pasar (HIP) BBM menjadi lebih tinggi, yang berdampak pada besarnya kompensasi dan subsidi BBM yang dibebankan ke APBN setiap tahunnya.
Dampak dan Langkah Hukum
Kejaksaan Agung menegaskan bahwa kasus ini tidak hanya merugikan keuangan negara dalam jumlah fantastis, tetapi juga berdampak pada masyarakat luas akibat tingginya harga BBM. Seluruh tersangka kini tengah menjalani pemeriksaan lebih lanjut dan berpotensi menghadapi tuntutan pidana berat.
Skandal ini menjadi tamparan keras bagi dunia energi Indonesia, terutama bagi Pertamina, yang selama ini mengklaim menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Pemerintah dan aparat hukum diharapkan dapat menindak tegas para pelaku serta mencegah praktik korupsi serupa di masa mendatang. (*)