BorneoFlash.com, JAKARTA – Pada 2024, daya beli masyarakat Indonesia tertekan, memperlambat aktivitas ekonomi. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga, komponen utama ekonomi, tetap di bawah 5% sepanjang tiga kuartal pertama. Hingga kuartal III-2024, konsumsi rumah tangga tumbuh 4,91% (yoy), mendorong pertumbuhan ekonomi nasional hanya 4,95%.
Meski begitu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengklaim daya beli terjaga, merujuk pada Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang naik ke 125,9 dan pertumbuhan Indeks Penjualan Riil sebesar 1,7%. “Indikator konsumsi masih positif,” ujarnya. Namun, Bambang Brodjonegoro menilai data konsumsi mencerminkan pelemahan daya beli. “Penurunan konsumsi di bawah 5% menunjukkan daya beli melemah,” katanya.
BPS mencatat penurunan kelas menengah dari 57,33 juta orang (2019) menjadi 47,85 juta (2024), mempertegas tekanan ekonomi.
Dampak pada Properti, Ritel, dan Otomotif
Sektor properti terpukul dengan penurunan penjualan rumah tapak di Jabodetabek hingga 25%, sementara harga rumah terus naik, terutama di Depok (12%). Di sektor ritel, penurunan daya beli memicu deflasi lima bulan berturut-turut. Ketua Aprindo, Roy Mandey, menyebut konsumen mengurangi pembelian sehingga harga harus diturunkan.
Sektor otomotif juga terdampak. Sekretaris Umum Gaikindo, Kukuh Kumara, mengungkapkan harga mobil baru tidak terjangkau, memaksa revisi target penjualan dari 1,1 juta unit.
Kebijakan Pemerintah
Pemerintah meluncurkan 15 insentif ekonomi untuk menahan tekanan ini:
- Masyarakat berpenghasilan rendah: bantuan pangan, subsidi listrik, dan pengurangan PPN.
- Kelas menengah: diskon PPN properti, kendaraan listrik, dan insentif pekerja padat karya.
- Dunia usaha: perpanjangan PPh Final UMKM 0,5% hingga 2025 dan subsidi bunga revitalisasi mesin.
“Pemerintah berupaya menjaga daya beli masyarakat untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional,” kata Juru Bicara Kemenko Perekonomian, Haryo Limanseto. (*)