BorneoFlash.com, JAKARTA – Muhamad Anugrah Firmansyah, pemohon uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK), meminta agar pernikahan beda agama mendapat kepastian hukum.
Anugrah menguji Pasal 2 ayat (1) karena menilai ketentuan itu menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum terkait pencatatan perkawinan antaragama. “Ketentuan ini membuat saya tidak bisa menikah dengan pasangan yang berbeda agama,” kata Anugrah dalam sidang di MK, Jakarta, Rabu.
Anugrah, seorang Muslim, telah menjalin hubungan selama dua tahun dengan perempuan beragama Kristen. Mereka berkomitmen menikah, tetapi terhalang pasal yang menyatakan bahwa perkawinan sah bila dilakukan menurut hukum agama masing-masing.
Menurutnya, pasal itu dimaknai sebagai larangan mencatat perkawinan beda agama. Padahal, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan membuka peluang pencatatan melalui penetapan pengadilan, meski praktiknya tidak konsisten. “Ada pengadilan yang mengabulkan, ada pula yang menolak,” ujarnya.
Ia menilai perbedaan penafsiran itu menimbulkan ketidakpastian hukum dan perlakuan tidak setara antarwarga. “Negara menafsirkan pasal ini berbeda-beda, sehingga menimbulkan ketidakpastian,” tegasnya.
Anugrah menyebut pernikahan antaragama sebagai konsekuensi logis masyarakat majemuk.
“Cinta tidak bisa direncanakan; interaksi antaragama, suku, dan budaya adalah hal wajar,” katanya.
Ia juga menyoroti Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 yang melarang pencatatan perkawinan beda agama, yang menurutnya memperparah kerugian konstitusionalnya.
Melalui perkara Nomor 212/PUU-XXIII/2025, Anugrah meminta MK menegaskan bahwa Pasal 2 ayat (1) tidak boleh dijadikan dasar hukum untuk menolak pencatatan perkawinan antarumat berbeda agama dan kepercayaan. (*)





