Pendidikan Itu adalah Keseimbangan Agama, Akal dan Moral

oleh -
Editor: Ardiansyah
Ilustrasi by Freepik
Ilustrasi by Freepik

Dengan demikian, pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah proses humanisasi yang menyeimbangkan pengembangan akal, pembentukan moral (budi pekerti yang mencakup nilai spiritual), dan keterampilan praktis, agar individu dapat mencapai kebahagiaan dan keselamatan yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.

 

Dalam sejarah pemikiran Islam, banyak filsuf besar menegaskan pentingnya keseimbangan ini. Ibnu Khaldun, misalnya, dalam Muqaddimah-nya menyatakan bahwa ilmu terbagi menjadi dua: ilmu naqliyah (wahyu/agama) dan ilmu aqliyah (rasional). 

 

Menurutnya, pendidikan harus mengintegrasikan keduanya, sebab manusia tidak akan sempurna bila hanya mengandalkan akal tanpa agama, atau beragama tanpa pemahaman rasional. Bagi Ibnu Khaldun, pendidikan yang ideal adalah yang mampu melahirkan manusia berilmu, berakhlak, dan siap membangun peradaban.

 

Sementara itu, Al-Ghazali menekankan bahwa tujuan utama pendidikan adalah mendekatkan manusia kepada Allah dan membentuk akhlak yang mulia. Dalam pandangannya, ilmu pengetahuan ibarat makanan bagi akal, sedangkan agama menjadi cahaya yang membimbing arah pemanfaatannya. 

 

Jika akal diasah tanpa agama, maka pengetahuan bisa disalahgunakan untuk kerusakan. Sebaliknya, jika agama tanpa akal, maka pemahaman menjadi sempit dan kaku. Oleh karena itu, moralitas adalah pengikat yang menjaga akal dan agama agar berjalan harmonis.

 

Di sisi lain, Ibnu Sina menegaskan pentingnya peran akal dalam memahami realitas alam dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Namun, ia tidak menolak peran agama; bahkan ia melihat agama sebagai sarana untuk menyempurnakan akal dan mengatur kehidupan sosial. Baginya, pendidikan harus mengembangkan potensi intelektual sekaligus membimbing manusia menuju kebenaran yang bersifat transenden.

 

Dari pandangan keempat tokoh tersebut, dapat dipahami bahwa pendidikan tidak boleh hanya menekankan satu sisi. Jika hanya menekankan akal, lahirlah manusia cerdas tetapi kering spiritual dan berpotensi egois. 

Baca Juga :  Takdir Pustaka: Yusuf Sang Pengembara Kata, Lain Slamet lain pula Yusuf

 

Jika hanya menekankan agama, lahirlah manusia yang mungkin taat secara ritual tetapi kurang kritis terhadap tantangan zaman. Jika hanya menekankan moral tanpa fondasi akal dan agama, moralitas bisa kehilangan arah dan standar yang jelas. Maka, keseimbangan ketiganya adalah kunci untuk melahirkan manusia seutuhnya.

 

Dalam konteks kehidupan modern, keseimbangan ini semakin relevan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat mampu meningkatkan kualitas hidup manusia, tetapi juga menghadirkan berbagai krisis moral. Korupsi, ketidakadilan, konflik, dan degradasi lingkungan seringkali muncul bukan karena kekurangan ilmu, melainkan karena lemahnya moral dan agama. 

 

Di sinilah pendidikan berbasis keseimbangan akal, agama, dan moral menjadi solusi agar generasi muda tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki spiritualitas yang kokoh dan akhlak yang luhur.

 

Dengan demikian, pendidikan yang ideal bukanlah pendidikan yang hanya mencetak “manusia pintar”, melainkan manusia yang berilmu, beriman, dan berakhlak. Inilah keseimbangan yang dimaksud oleh para filsuf Islam: integrasi antara akal sebagai alat berpikir, agama sebagai pedoman hidup, dan moral sebagai landasan perilaku. Pendidikan seperti ini tidak hanya membangun individu, tetapi juga menjadi pondasi bagi peradaban yang maju dan bermartabat. (*)

 

Nama Penulis: Agus Priyono Marzuki S.Pd
Profesi: Guru
No WhatsApp: 085792185490
Email: agus16priyono.marzuki@gmail.com

Simak berita dan artikel BorneoFlash lainnya di  Google News

Jangan ketinggalan berita terbaru! Follow Instagram  dan subscribe channel YouTube BorneoFlash Sekarang

banner 700x135

No More Posts Available.

No more pages to load.