BorneoFlash.com, TEHERAN – Konflik bersenjata antara Iran dan Israel kembali memanas setelah serangan udara Israel menghantam fasilitas strategis milik Iran pada Jumat (13/6/2025) dini hari.
Akibat serangan tersebut, lebih dari 100 warga Iran dilaporkan tewas, termasuk sejumlah komandan Garda Revolusi dan ilmuwan nuklir.
Juru Bicara Staf Umum Angkatan Bersenjata Iran, Brigadir Jenderal Abolfazl Shekarchi, menegaskan bahwa Iran tidak akan menghentikan operasi militernya sampai Israel merasakan akibat dari tindakannya.
“Kami akan melanjutkan operasi kami hingga rezim Zionis kriminal merasa menyesal,” tegas Shekarchi dalam siaran televisi pemerintah, Sabtu (15/6/2025).
Serangan Udara Israel Tewaskan Komandan dan Ilmuwan Nuklir Iran
Serangan udara Israel dilaporkan menghantam beberapa lokasi penting, termasuk fasilitas nuklir dan penyimpanan rudal di Iran.
Dalam serangan tersebut, setidaknya 104 warga Iran tewas, termasuk sejumlah komandan tinggi Garda Revolusi Islam (IRGC) dan sembilan ilmuwan nuklir. Sebanyak 380 orang lainnya mengalami luka-luka.
Iran Balas dengan Rudal Balistik ke Wilayah Israel
Sebagai respons, Iran meluncurkan rudal balistik yang menargetkan beberapa wilayah strategis di Israel. Serangan balasan ini menewaskan tiga orang dan melukai lebih dari 170 warga Israel.
Israel Ancam Hancurkan Teheran
Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, mengeluarkan pernyataan keras sebagai balasan atas serangan rudal Iran. Ia memperingatkan bahwa jika Iran kembali menyerang Tel Aviv, maka Israel tidak akan ragu untuk membakar ibu kota Iran, Teheran.
“Jika Khamenei terus menembakkan rudal ke wilayah Israel, Teheran akan dibakar,” kata Katz.
Ia juga menuduh Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, menjadikan rakyatnya sebagai “sandera” dalam konflik yang dapat menimbulkan penderitaan besar bagi warga Iran sendiri.
Situasi Kian Rawan
Ketegangan antara kedua negara terus meningkat, memicu kekhawatiran akan pecahnya konflik yang lebih luas di kawasan Timur Tengah.
Sejumlah pihak internasional menyerukan agar kedua negara menahan diri dan membuka jalur diplomatik untuk menghindari eskalasi yang lebih besar. (*)