BorneoFlash.com, JAKARTA – Guru Besar IPB University, Dwi Andreas Santosa, mengungkapkan bahwa program Food Estate di Indonesia selama lebih dari seperempat abad banyak mengalami kegagalan. Beberapa proyek yang gagal meliputi Proyek Lahan Gambut (PLG) seluas 1,4 juta hektare pada 1996, Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) seluas 1,23 juta hektare pada 2008, Food Estate Bulungan seluas 300.000 hektare pada 2013, Food Estate Ketapang seluas 100.000 hektare pada 2013, serta Rice Estate seluas 1,2 juta hektare pada 2015.
Andreas menyebutkan bahwa ketergantungan pada impor beras sebesar 2 juta ton per tahun sejak berakhirnya swasembada beras pada 1993 menjadi salah satu tantangan utama. Ia juga menyoroti konversi lahan pertanian ke sektor non-pertanian yang mencapai 1 juta hektare sebagai hambatan besar.
“Pemerintah gagal memenuhi empat pilar pengembangan lahan pangan, sehingga program Food Estate ikut gagal,” tegas Andreas dalam keterangannya, Rabu (30/4/2025). Empat pilar tersebut mencakup kelayakan tanah dan agroklimat, kelayakan teknologi, kelayakan infrastruktur, serta kelayakan sosial dan ekonomi.
Andreas menegaskan bahwa penyusunan kebijakan Food Estate harus berbasis data yang sesuai kondisi lapangan. Ia mengusulkan agar pemerintah memfokuskan perluasan lahan pertanian pada lahan-lahan kecil yang belum termanfaatkan. Selain itu, ia mendorong pemerintah untuk menetapkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) khusus pengembangan Food Estate. “Eks PLG seluas 1 juta hektare merupakan wilayah yang paling memenuhi syarat untuk tujuan ini,” jelasnya.
Ia juga mendorong pengembangan wilayah-wilayah kecil di bekas PLG yang memenuhi kriteria empat pilar sebagai titik awal pengembangan area pertanian skala luas.
Sementara itu, Guru Besar Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB University, Munif Ghulamahdi, menegaskan bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk mewujudkan Food Estate. Ia mencontohkan ketersediaan lahan pasang surut seluas 20,1 juta hektare, dengan sekitar 9 juta hektare yang berpotensi untuk kegiatan pertanian.
Kolaborasi antara academic, business, government, and community (ABGC) telah membuktikan potensi ini. Mereka berhasil mengembangkan lahan jagung seluas 50 hektare pada 2023 dan 2024. Mereka juga menargetkan pengembangan lahan ini mencapai 500 hektare pada 2025. “Pemanfaatan lahan pasang surut dengan penerapan budidaya jenuh air (BJA) yang terintegrasi membuka peluang keberhasilan Food Estate di masa depan,” jelas Munif.
Dekan Fakultas Pertanian IPB University, Suryo, menambahkan bahwa pelaksanaan Food Estate memerlukan pendekatan holistik untuk meningkatkan peluang keberhasilan. Ia menekankan pentingnya memperhatikan kesehatan tanah (soil health), teknologi, dan kualitas sumber daya manusia. “Food Estate adalah program besar yang tidak bisa kita jalankan secara terpisah-pisah,” tegas Suryo. (*)