Penghapusan Kuota Impor Dinilai Bertentangan dengan Semangat Swasembada Pangan

oleh -
Penulis: Wahyuddin Nurhidayat
Editor: Ardiansyah
Presiden Prabowo Subianto, menyampaikan pengarahan dalam Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden RI di Menara Mandiri, Senayan, Jakarta, 8 April 2025. Sarasehan ini mengangkat tema Memperkuat Daya Tahan Ekonomi Indonesia di Tengah Gelombang Perang Tarif Perdagangan, dihadiri jajaran menteri, Dewan Ekonomi Nasional, BI, OJK LPS dan pelaku ekonomi nasional. Foto : Imam Sukamto
Presiden Prabowo Subianto, menyampaikan pengarahan dalam Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden RI di Menara Mandiri, Senayan, Jakarta, 8 April 2025. Sarasehan ini mengangkat tema Memperkuat Daya Tahan Ekonomi Indonesia di Tengah Gelombang Perang Tarif Perdagangan, dihadiri jajaran menteri, Dewan Ekonomi Nasional, BI, OJK LPS dan pelaku ekonomi nasional. Foto : Imam Sukamto

BorneoFlash.com, JAKARTA – Dosen Ekonomi Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, mengkritik langsung instruksi Presiden Prabowo Subianto yang meminta penghapusan kuota impor. Ia menilai kebijakan itu justru bertolak belakang dengan semangat swasembada pangan yang selama ini pemerintah gaungkan.

 

Menurutnya, rencana tersebut bisa menimbulkan keraguan publik terhadap konsistensi antara retorika Presiden Prabowo yang kerap menolak neoliberalisme dan kebijakan yang membuka pintu impor secara luas.

 

Syafruddin mempertanyakan keputusan Presiden Prabowo yang selama ini dikenal menentang dominasi asing, tetapi sekarang justru mendorong kebijakan yang berpotensi memperkuat ketergantungan terhadap pasar luar negeri.

 

Ia menyampaikan pandangan tersebut dalam keterangan tertulis pada Rabu, 10 Maret 2025. Sebelumnya, Presiden Prabowo menyatakan bahwa ia telah menginstruksikan para menteri untuk menghapus sistem kuota impor, khususnya untuk barang-barang yang menjadi kebutuhan masyarakat luas.

 

Dalam Sarasehan Ekonomi pada 8 April 2025, ia menegaskan bahwa pemerintah memberi kebebasan kepada siapa pun yang ingin dan mampu melakukan impor, tanpa perlu penunjukan khusus. Ia menilai sistem kuota selama ini justru menghambat kelancaran perdagangan dan menciptakan birokrasi berbelit.

 

Syafruddin memperingatkan bahwa kebijakan ini sangat berisiko, apalagi jika pemerintah menerapkannya pada komoditas strategis seperti beras, gula, dan kedelai. Ia menekankan bahwa swasembada pangan tidak hanya menuntut ketersediaan stok, tetapi juga mencerminkan kemampuan bangsa untuk memenuhi kebutuhan pokok tanpa bergantung pada negara lain.

 

Ia mengingatkan bahwa jika pemerintah membuka keran impor tanpa kontrol, maka hal itu bisa melemahkan ekosistem pertanian nasional. Petani bisa kehilangan insentif untuk menanam, produk asing bisa membanjiri pasar dalam negeri, dan harga komoditas lokal bisa jatuh.

Baca Juga :  Firdaus, Pengusul Gelar Pahlawan untuk RM Margono dapat Penghargaan FORMAS

 

Dalam jangka panjang, kondisi tersebut dapat merusak fondasi ketahanan pangan dan menjauhkan Indonesia dari cita-cita menjadi negara mandiri di bidang pangan.

Lebih lanjut, Syafruddin menilai bahwa jika Presiden Prabowo ingin memegang teguh janji politiknya tentang kedaulatan dan sikap anti-neoliberalisme, maka membuka impor secara bebas bukanlah langkah yang tepat.

 

Ia menekankan bahwa yang lebih dibutuhkan ialah reformasi menyeluruh di sektor pertanian, peningkatan produktivitas melalui teknologi dan pembangunan infrastruktur, serta perlindungan cerdas terhadap produk dalam negeri.

 

Dengan strategi tersebut, menurutnya, Indonesia bisa benar-benar mewujudkan swasembada pangan, bukan sekadar menjadikannya slogan politik. (*)

Simak berita dan artikel BorneoFlash lainnya di  Google News

banner 700x135

No More Posts Available.

No more pages to load.