Sebagian besar dari salinan tersebut diyakini ditulis ketika ia berusia antara 80 dan 90 tahun. Kiprahnya ini dipandang sebagai hal yang luar biasa karena bahasa Arab bukanlah bahasa ibunya.
Menurut Morton, Tuan Guru dipenjara di Pulau Robben dua kali – pertama dari 1780 hingga 1781 ketika dia berusia 69 tahun, dan lagi antara tahun 1786 dan 1791.
“Saya percaya salah satu alasan dia menulis Qur’an adalah untuk mengangkat semangat para budak di sekitarnya. Dia menyadari bahwa jika dia menulis salinan Al-Qur’an, dia bisa mendidik mereka dari salinan tersebut sekaligus mengajari mereka cara bermartabat,” kata Morton.
“Jika Anda pergi ke arsip dan melihat kertas yang digunakan Belanda, itu sangat mirip dengan yang digunakan oleh Tuan Guru. Mungkin itu kertas yang sama.”
“Pena dia buat sendiri dari bambu dan tinta hitam dan merah mudah diperoleh dari pemerintah kolonial.”
Shaykh Owaisi, seorang dosen sejarah Islam Afrika Selatan yang telah melakukan penelitian ekstensif tentang Al-Qur’an tulisan tangan di Cape Town, percaya bahwa Tuan Guru termotivasi oleh kebutuhan untuk melestarikan Islam di antara tahanan dan budak Muslim di daerahnya yang dulu merupakan koloni Belanda.
“Ketika mereka menggaungkan Alkitab dan mencoba untuk mengonversi budak Muslim, Tuan Guru sedang menulis salinan Al-Qur’an, mengajarkannya kepada anak-anak, dan membantu mereka menghafalnya.”

“Ini merupakan kisah penuh kegigihan dan ketekunan. Ini menunjukkan tingkat pendidikan orang-orang yang dibawa ke Cape Town sebagai budak dan tahanan.”
Tuan Guru juga menulis buku teks bahasa Arab setebal 613 halaman berjudul Ma’rifat wal Iman wal Islam (Pengetahuan tentang Iman dan Agama) dari ingatannya.
Buku itu, yang merupakan panduan dasar untuk keyakinan Islam, digunakan selama lebih dari 100 tahun untuk mengajar umat Islam di Cape Town tentang iman mereka.