BorneoFlash.com – Peneliti Ahli Madya dari Pusat Riset Teknologi Radioisotop, Radiofarmaka, dan Biodosimetri BRIN, Isti Daruwati, menjelaskan perbedaan antara radiofarmaka dan radiologi saat menerima kunjungan ilmiah mahasiswa Universitas Pakuan Bogor di Bandung, Jumat (13/6).
Ia menyebutkan bahwa radiologi menggunakan sumber tertutup, sedangkan kedokteran nuklir atau radiofarmaka melibatkan obat yang disimpan dalam tubuh, sehingga bersifat terbuka.
Isti menekankan bahwa manfaat radiofarmaka jauh lebih besar daripada risikonya. Meski melibatkan paparan radiasi, jumlah radiasi yang digunakan sangat kecil dan aman bagi tubuh. Radiasi bekerja di dalam tubuh saat isotop meluruh, namun tidak berdampak pada orang di sekitar pasien.
“Secara terminologi, radiofarmasi merupakan bidang ilmu kefarmasian yang mengelola unsur radioaktif untuk diagnosis atau terapi, mulai dari penyiapan hingga pemberian obat,” jelas Isti.
Ia juga menjelaskan bahwa radiofarmasis adalah tenaga ahli yang menangani bidang ini, sedangkan radiofarmaka merujuk pada sediaan obat radioaktif untuk diagnosis atau terapi dalam dosis kecil tanpa efek farmakologis berarti.
Isti memaparkan bahwa radiofarmaka terdiri atas dua komponen utama. Komponen pertama adalah radioisotop, yaitu isotop yang memancarkan energi dalam bentuk partikel atau gelombang elektromagnetik melalui proses peluruhan.
Komponen kedua berupa senyawa farmasi seperti protein, antibodi, senyawa anorganik atau organik yang mengarahkan radioisotop ke organ target dalam tubuh.
Ia juga menyebutkan bahwa manufaktur industri radiofarmaka menghasilkan kit non-radioaktif yang dapat disimpan selama 2–5 tahun.
Berdasarkan Peraturan BPOM Nomor 7 Tahun 2024, radiofarmaka diklasifikasikan menjadi produk radioaktif siap pakai, generator radionuklida, komponen non-radioaktif (kits) yang ditandai dengan radionuklida, serta prekursor untuk penandaan sebelum diberikan kepada pasien.
“Radiofarmaka yang ideal harus terlokalisasi secara spesifik di organ target, meminimalkan kerusakan jaringan normal, tidak bersifat pirogenik, dan tidak menimbulkan efek toksik pada pasien,” ujar Isti.
Ia menambahkan bahwa pengendalian mutu radiofarmaka meliputi empat aspek utama: farmasi, radiasi, fisikokimia, dan biologi.
Sementara itu, Dosen Pembimbing Mata Kuliah Radiofarmaka Universitas Pakuan Bogor, Rikkit, menyampaikan harapannya agar mahasiswa dapat menerapkan ilmu radiofarmasi secara langsung di lapangan, tidak hanya dari pembelajaran di kelas.
“Kami ingin mahasiswa memperluas pengetahuannya di bidang radiofarmaka dan merasakan langsung manfaat dari kegiatan kunjungan ini,” pungkasnya. (*/brin.go.id)