Selain TB, DPRD juga menyoroti peningkatan kasus HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS) di wilayah Palaran.
Temuan lapangan bahkan mengungkap adanya anak berusia 13 tahun yang telah terinfeksi IMS.
“Informasi dari pihak puskesmas menunjukkan adanya anak usia 13 tahun yang menderita IMS. Hal ini tentu mengkhawatirkan, karena menandakan pola pergaulan yang berisiko tinggi terhadap penularan penyakit,” kata Sri.
Menurutnya, faktor sosial dan lingkungan menjadi penyumbang besar terhadap penyebaran penyakit tersebut.
Palaran sebagai kawasan industri yang padat aktivitas pelabuhan, pabrik semen, dan pertamina memiliki mobilitas penduduk yang tinggi, sehingga penularan penyakit lebih mudah terjadi.
Di sisi lain, Sri menyoroti persoalan ketergantungan pemerintah terhadap bantuan internasional, seperti Global Fund, dalam menjalankan program kesehatan masyarakat.
“Selama ini pembiayaan penanggulangan penyakit menular masih banyak bergantung pada Global Fund. Jika suatu saat bantuan itu berhenti, kita akan kesulitan karena belum memiliki sistem yang mandiri,” ujarnya.
Ia menilai kondisi ini bisa menjadi krisis kesehatan jika pemerintah daerah tidak segera menyiapkan strategi keberlanjutan pendanaan dan sumber daya.
Oleh sebab itu, melalui Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pencegahan dan Penanggulangan TB-HIV/AIDS, DPRD mendorong agar kebijakan kesehatan tidak hanya berhenti pada regulasi, tetapi benar-benar diimplementasikan di lapangan.
“Kita sudah memiliki berbagai regulasi, dari undang-undang hingga peraturan wali kota. Namun, tanpa pelaksanaan nyata di lapangan, semuanya hanya akan menjadi dokumen semata,” tegas Sri.
Dengan penguatan kebijakan dan edukasi masyarakat, ia berharap Samarinda dapat lebih mandiri dalam menjaga kesehatan publik tanpa terlalu bergantung pada donor asing.
“Pemerintah daerah perlu lebih proaktif memperhatikan persoalan ini. Jika kesadaran masyarakat tidak segera ditumbuhkan, target bebas TB dan HIV/AIDS pada 2030 akan sulit tercapai,” pungkasnya.





