Sistem penandaan wajah dalam aplikasi tersebut memudahkan pelanggan menemukan foto pribadi mereka tanpa harus memilah dari ribuan gambar yang ia hasilkan.
Meski sederhana, Ragil tetap memperhatikan etika saat bekerja.
Ada kalanya warga menolak untuk difoto dengan memberikan isyarat tertentu, seperti melambaikan tangan atau membuat gerakan menyilang.
Situasi semacam itu langsung ia hormati dengan mengalihkan kameranya.
“Apabila seseorang menunjukkan tanda tidak ingin difoto, maka saya tidak akan memaksakan diri dan segera beralih ke objek lain,” ungkapnya.
Bagi Ragil, pekerjaan ini bukan semata-mata soal keuntungan, melainkan juga hubungan baik dengan komunitas pelari.
Keakraban yang ia bangun menjadi alasan banyak orang kembali mempercayakan momen olahraga mereka untuk ia abadikan.
“Selain soal hasil foto yang baik, kenyamanan dan kedekatan dengan orang-orang di sini sangat penting. Itu yang membuat mereka tetap mau menggunakan jasa saya,” pungkasnya. (*)







