BorneoFlash.com, JAKARTA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menyerap anggaran pendidikan terbesar dalam RAPBN 2026, yaitu Rp335 triliun untuk 82,9 juta penerima manfaat melalui 30.000 layanan gizi. Pemerintah menargetkan program ini memperbaiki gizi dan kesehatan anak-anak Indonesia.
Indef mencatat 4.000 siswa keracunan akibat MBG dalam delapan bulan terakhir. Sejumlah pemerintah daerah menghentikan sementara program ini. Kondisi tersebut membuat masyarakat resah dan menilai pemerintah tidak mengelola uang pajak dengan baik.
Kasus ini menunjukkan kebijakan tidak otomatis menyelesaikan masalah. Di sektor kesehatan, pemerintah juga gagal mengoptimalkan program imunisasi karena masih muncul kejadian luar biasa penyakit yang bisa dicegah. Fakta ini menegaskan bahwa pemerintah harus lebih serius pada implementasi, bukan hanya penyaluran anggaran.
Sir Michael Barber melalui konsep deliverology menawarkan solusi. Ia menekankan pentingnya know-how agar kebijakan berjalan efektif. Untuk memperbaiki tata kelola MBG, pemerintah harus:
- melibatkan pemerintah daerah sejak awal dan membentuk unit khusus bersama masyarakat serta akademisi;
- menyerap aspirasi untuk mengidentifikasi hambatan pelaksanaan dan mencari solusi;
- menyusun rencana realistis dengan memprioritaskan wilayah atau jenis makanan tertentu;
- melakukan evaluasi berbasis data dengan indikator jelas, bukan sekadar nilai akademik.
Saya menilai MBG layak diapresiasi karena menunjukkan janji politik bisa menjadi kebijakan nyata sekaligus prioritas nasional. Penelitian juga membuktikan intervensi gizi meningkatkan kesehatan dan kapasitas belajar siswa.
Pemerintah harus memperkuat tata kelola dan menerapkan prinsip deliverology. Dengan langkah itu, MBG tidak hanya besar di anggaran, tetapi juga nyata memberi manfaat bagi generasi bangsa. (*)