Mendesain Budaya Literasi yang Paradoks: “Peran Negara dalam Menjadikan Literasi Milik Semua, Bukan Hanya Elite”

oleh -
Editor: Ardiansyah
Ilustrasi by Freepik.
Ilustrasi by Freepik.

Jika negara serius ingin menciptakan budaya literasi yang hidup, maka yang dibutuhkan bukan hanya buku dan perpustakaan, tapi juga keberanian untuk membuka ruang berpikir—meski itu berarti mendengar hal-hal yang tidak nyaman.

 

Membaca sebagai Aktivitas Elite

Membaca adalah pintu masuk menuju dunia pengetahuan, imajinasi, dan kebebasan berpikir. Namun di Indonesia, aktivitas ini belum menjadi bagian dari budaya sehari-hari masyarakat luas. 

 

Membaca, secara ironis, kerap diasosiasikan sebagai aktivitas kalangan tertentu-mereka yang punya akses pendidikan tinggi, waktu luang, dan daya beli terhadap buku. Dalam konteks sosial yang timpang, membaca bukan lagi hak semua orang, melainkan kemewahan yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir elit.

 

Fenomena ini berakar dari ketimpangan struktural. Harga buku yang mahal, terbatasnya akses perpustakaan, serta minimnya distribusi bacaan bermutu di daerah menjadi faktor utama yang membatasi literasi. Di banyak wilayah, buku menjadi barang langka. Bahkan jika tersedia, isinya sering kali tidak relevan atau membosankan bagi pembaca lokal. Akibatnya, membaca bukan hanya sulit dijangkau, tapi juga tidak dianggap penting.

 

Lebih jauh, budaya membaca juga dibentuk oleh pola pikir masyarakat yang lebih memprioritaskan aktivitas praktis ketimbang reflektif. Di tengah tekanan ekonomi, membaca sering kali dipandang sebagai kegiatan yang “tidak produktif”, kecuali menghasilkan nilai akademis atau keuntungan materi. 

 

Maka tidak heran, buku-buku yang laris justru buku motivasi, bisnis instan, atau kisah viral yang cepat dikonsumsi dan dilupakan. Sementara itu, karya sastra, filsafat, dan sejarah—yang mendorong perenungan—masih dianggap “barang mahal” milik para intelektual atau akademisi.

 

Sistem pendidikan pun turut mempertajam kesan elitis ini. Sekolah-sekolah jarang mendorong kegemaran membaca sebagai proses kritis dan menyenangkan. Sebaliknya, membaca dijadikan tugas administratif: ringkasan, laporan, dan kewajiban memenuhi target. Tidak heran jika banyak siswa tumbuh dengan perasaan terpaksa terhadap buku. Dalam kondisi ini, membaca menjadi simbol status, bukan kebutuhan intelektual.

Baca Juga :  Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam

 

Membaca seharusnya menjadi aktivitas yang membumi, membebaskan, dan inklusif. Untuk itu, perlu upaya serius: menurunkan harga buku, membangun perpustakaan yang hidup, mencetak konten lokal yang relevan, dan mengubah pendekatan pendidikan agar membaca tidak lagi eksklusif. Tanpa langkah konkret ini, membaca akan tetap jadi aktivitas elit—dan bangsa ini akan terus berjarak dengan kesadaran kritis yang seharusnya dimiliki oleh semua warganya.

Simak berita dan artikel BorneoFlash lainnya di  Google News

Jangan ketinggalan berita terbaru! Follow Instagram  dan subscribe channel YouTube BorneoFlash Sekarang

banner 700x135

No More Posts Available.

No more pages to load.