Mendesain Budaya Literasi yang Paradoks: “Peran Negara dalam Menjadikan Literasi Milik Semua, Bukan Hanya Elite”

oleh -
Editor: Ardiansyah
Ilustrasi by Freepik.
Ilustrasi by Freepik.

BorneoFlash.com, OPINI – Literasi telah menjadi jargon populer dalam berbagai kebijakan pendidikan dan kebudayaan di Indonesia. Pemerintah menyuarakan pentingnya budaya literasi melalui program-program nasional, seperti Gerakan Literasi Sekolah (GLS), Hari Literasi Internasional, hingga penyediaan buku bacaan di perpustakaan sekolah. 

 

Namun, di balik semangat yang tampak, tersembunyi sebuah paradoks yang menghambat lahirnya masyarakat berpikir kritis: negara merancangbudaya literasi yang tampak mendukung, namun secara sistemik tidak memberi ruang bagi daya pikir yang tumbuh dari literasi itu sendiri.

 

Paradoks pertama tampak dari bagaimana literasi dimaknai. Di banyak kebijakan, literasi masih dipahami sebatas kemampuan membaca dan menulis secara teknis, bukan sebagai kemampuan menganalisis, mengevaluasi, atau mencipta. Hasilnya, budaya membaca menjadi ritual formal, bukan proses intelektual yang membentuk karakter berpikir. 

 

Murid-murid dipaksa membaca buku yang tidak mereka pilih, menulis ringkasan yang tidak mereka pahami, dan menjawab soal yang hanya menguji hafalan. Literasi menjadi simbol, bukan substansi.

 

Paradoks kedua ada pada sensor dan pembatasan wacana. Negara menyerukan pentingnya membaca buku dan memperluas wawasan, namun di saat bersamaan, membatasi akses pada buku-buku yang dianggap “tidak sesuai norma”. Banyak buku sastra, sejarah, atau filsafat dikategorikan sensitif dan ditarik dari peredaran. Ini menciptakan iklim ketakutan yang membungkam semangat bertanya dan berpikir mendalam—dua unsur esensial dari literasi sejati.

 

Selain itu, kurikulum nasional yang padat dan berorientasi pada nilai juga membunuh semangat literasi. Siswa diburu untuk menuntaskan silabus, bukan untuk memahami konteks. 

 

Guru dinilai dari seberapa cepat menyelesaikan materi, bukan seberapa dalam diskusi berlangsung. Ketika literasi hanya menjadi alat untuk lulus ujian, bukan untuk membentuk manusia, maka tujuan jangka panjang bangsa untuk menciptakan generasi cerdas dan merdeka berpikir menjadi ilusi.

Baca Juga :  Kapolda Kaltim Pimpin Upacara Hari Bhayangkara ke 77

 

Dalam realitas ini, budaya literasi kita adalah paradoks: dirancang untuk terlihat mendorong kecerdasan, tapi sebenarnya menciptakan kepatuhan. Literasi yang sejati seharusnya membebaskan, bukan membelenggu. 

Simak berita dan artikel BorneoFlash lainnya di  Google News

banner 700x135

No More Posts Available.

No more pages to load.