Gugat UU Halal ke MK, Dua Warga Tantang Kewajiban Sertifikasi

oleh -
Penulis: Wahyuddin Nurhidayat
Editor: Ardiansyah
Hakim Konstitusi Arief Hidayat (tengah) memimpin sidang perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 Panel 3 di Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/5/2024). Sidang PHPU Pileg 2024 tersebut beragendakan pemeriksaan pendahuluan 81 perkara. FOTO : Hafidz Mubarak A/nym.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat (tengah) memimpin sidang perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 Panel 3 di Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/5/2024). Sidang PHPU Pileg 2024 tersebut beragendakan pemeriksaan pendahuluan 81 perkara. FOTO : Hafidz Mubarak A/nym.

BorneoFlash.com, JAKARTA – Seorang wiraswasta asal Jawa Timur, Kiki Supardji, dan tabib asal Jakarta Utara, Andy Savero, menggugat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai UU JPH melanggar hak asasi manusia karena mewajibkan sertifikasi halal untuk semua produk di Indonesia, sehingga membatasi hak konsumen non-Muslim.

 

Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada Kamis (13/2/2025), kuasa hukum pemohon, Yonathan Ambat Eka, menegaskan bahwa ketentuan ini seharusnya hanya berlaku bagi umat Islam. Para pemohon juga mempermasalahkan Pasal 10 ayat (1) tentang penyelenggaraan sertifikasi halal oleh BPJPH bersama MUI, yang mereka anggap berpotensi memicu monopoli dan melanggar UU Anti Monopoli.

 

Mereka turut menggugat pasal lain, seperti Pasal 14 ayat (1) tentang auditor halal, Pasal 17 terkait bahan baku, Pasal 26 mengenai kewajiban mencantumkan keterangan tidak halal, dan Pasal 48 tentang sanksi administratif. Menurut mereka, UU JPH bertentangan dengan UUD 1945 dan prinsip keadilan sosial serta merugikan pelaku usaha.

 

Dalam petitumnya, pemohon meminta MK membatalkan UU JPH karena bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, UU Anti Monopoli, dan UU Rahasia Dagang. Perkara Nomor 17/PUU-XXIII/2025 ini disidangkan oleh Majelis Hakim Panel yang dipimpin Arief Hidayat. Hakim Enny Nurbaningsih menilai permohonan pemohon belum memenuhi sistematika sesuai Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021. (*)

Simak berita dan artikel BorneoFlash lainnya di  Google News

banner 700x135

No More Posts Available.

No more pages to load.