Indonesia Siapkan Bioetanol sebagai Solusi Energi Bersih hingga 2030: Tantangan dan Potensi Pengembangan Sumber Daya

oleh -
Penulis: Wahyuddin Nurhidayat
Editor: Ardiansyah
Ilustrasi Pertamax Green Foto: Agung Pambudhy
Ilustrasi Pertamax Green Foto: Agung Pambudhy

BorneoFlash.com, JAKARTA – Pemerintah Indonesia merencanakan pemanfaatan bioetanol hingga 2030 dengan target pencampuran 10 persen bioetanol dalam bensin dalam lima tahun mendatang. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menyusun roadmap pengembangan bioetanol di sektor transportasi untuk mendukung transisi menuju energi bersih di Indonesia.

 

Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi, Kementerian ESDM, Edi Wibowo, menyatakan bahwa saat ini terdapat 13 produsen bioetanol dengan kapasitas produksi lebih dari 361 ribu kiloliter per tahun, termasuk 63 ribu kiloliter per tahun untuk Fuel Grade Ethanol (FGE).

 

“Pada 2025 hingga 2030, kami menargetkan tambahan dua pabrik pada 2026, sambil memaksimalkan kapasitas yang ada. Kami berharap pada 2026 bisa tercapai pencampuran bioetanol sebesar 5 persen dan meningkat menjadi sekitar 10 persen pada 2029,” ujar Edi dalam acara Carbon Neutrality (CN) Mobility Event di Gambir Expo, Kemayoran, Jakarta, pada Jumat (14/2/2025).

 

Edi juga menambahkan bahwa pada 2030, penyaluran bioetanol diperkirakan mencapai 1,2 juta kiloliter, dengan pencampuran bensin dan bioetanol yang meningkat signifikan.

 

Tantangan utama yang dihadapi adalah ketersediaan bahan baku atau feedstock untuk produksi bioetanol FGE. “Kami membutuhkan lebih banyak bahan baku untuk memproduksi bioetanol,” kata Oki Muraza, Senior Vice President (SVP) Teknologi Inovasi Pertamina. “Bioetanol dapat diproduksi dari berbagai jenis bahan baku,” tambahnya.

 

Izmirta Rachman, Ketua Asosiasi Produsen Spiritus dan Etanol Indonesia (APSENDO), menjelaskan bahwa pada 2024, penggunaan bioetanol baru mencapai 373 kiloliter. Angka ini berasal dari suplai PT Enero yang mengolah tetes tebu (molases) menjadi bioetanol, yang kemudian dicampur dengan bensin sebanyak 5 persen dan disalurkan melalui 106 SPBU Pertamina di Pulau Jawa.

Baca Juga :  Prediksi Arus Mudik dan Balik Nataru 2023/2024: Kapan Puncaknya dan Persiapan Kemenhub-Jasa Marga

 

Bioetanol merupakan bagian penting dari transisi energi yang perlu dioptimalkan, meskipun tantangan terkait ketersediaan bahan baku masih ada. Bahan baku bioetanol terdiri dari karbohidrat (gula) seperti sagu, jagung, gandum, tebu, kentang, dan ubi-ubian.

 

Indonesia memiliki potensi besar untuk menguasai bioetanol generasi kedua. Ronny Purwadi, Ahli Proses Konversi Biomassa dari Institut Teknologi Bandung (ITB), menjelaskan bahwa kendaraan berbasis Energi Baru dan Terbarukan (EBT), khususnya bioetanol, bisa menjadi solusi untuk mengurangi emisi.

 

Saat ini, terdapat 14 pabrik bioetanol, empat di antaranya memiliki fasilitas produksi etanol berkualitas bahan bakar, yaitu PT Molindo Raya Industrial, PT Enero, PT Acidatama, dan PT Indonesia Ethanol Industri.

 

“Bahan baku utama bioetanol generasi pertama adalah tetes (molases) dan singkong (yang mengandung pati),” jelas Ronny. “Sedangkan untuk generasi kedua, bahan bakunya berasal dari serat selulosa, limbah pertanian, atau perkebunan.”

 

Ronny menjelaskan bahwa produksi bioetanol dari selulosa melalui beberapa tahapan, seperti pre-treatment, hidrolisis, fermentasi, dan destilasi. Namun, proses ini membutuhkan enzim yang harganya cukup mahal. “Selulosa terdiri dari rantai glukosa yang bisa dipotong menjadi glukosa dengan menggunakan enzim,” tambahnya. “Enzim ini cukup mahal, dan hanya ada beberapa produsen di dunia yang memiliki posisi strategis dalam penyediaannya.” (*)

Simak berita dan artikel BorneoFlash lainnya di  Google News

banner 700x135

No More Posts Available.

No more pages to load.