Memang, buku tidak serta-merta menjadikan seseorang luar biasa. Ia hanyalah pemantik bahan bakar yang harus dinyalakan yakni semangat belajar dan keinginan untuk berkembang.
Ramanujan bukan jenius hanya karena membaca karya Carr, tetapi karena ia melahapnya dengan lapar, mencernanya, lalu melampaui batas yang ada.
Begitu pula Slamet, yang tidak sekadar terinspirasi, tetapi menjadikan bacaan itu dorongan untuk mengubah nasibnya sendiri. Buku tidak menjanjikan keberhasilan, tetapi bagi mereka yang bersedia berjalan bersamanya, ia menyediakan jalan keluar dari keterbatasan.
Tiga kisah berbeda, tetapi terjalin dalam satu benang merah: buku yang menemukan pembacanya. Ramanujan larut di antara bilangan yang berbaris tanpa penjelasan berarti.
Motivasi Slamet meluap di perpustakaan masjid, melalui buku tua yang hampir terlupakan. Dan Yusuf terhanyut di setiap lembaran yang ia dekap sepanjang hidupnya.
Begitulah pustaka, ia tidak pernah meminta untuk dibaca, tidak pernah memaksa untuk dipahami. Tetapi bagi mereka yang bersedia menyentuhnya, ia mampu membuka gerbang takdir.
Karena sejatinya, buku tidak memilih takdirnya sendiri. Ia hanya menunggu. Menunggu seseorang yang, dengan kesadaran penuh, akan menjadikannya bagian dari perjalanan penuh makna. Dan mungkin, mungkin saja seseorang itu adalah kita.
*Penulis: Wildan Taufiq