Maka tulisannya disarati bobot pengetahuan dan inspirasi yang begitu kaya. Banyak anak muda khususnya mahasiswa di Yogyakarta mengagumi gaya tulisan dan prestasinya. Jangan tanya berapa banyak muridnya yang kini jadi “orang”, entah sebagai tokoh publik, ilmuwan, atau akademisi. Tak terhitung.
Yusuf kini memiliki sebuah rumah dengan koleksi belasan ribu buku istimewa di desa Samben, pinggiran Yogyakarta. Koleksi yang ia kumpulkan semenjak muda bertengger rapi di perpustakaan pribadinya.
Samben Library namanya. Hingga kini ia masih setia menerima siapapun yang bertamu untuk sekadar menumpang baca dan berdiskusi. Mahasiswa jenjang strata 1 hingga 3 tak sungkan untuk meminta bimbingannya dalam tugas akhir.
Seperti Ramanujan dan Slamet, jejak pustaka begitu nyata membersamai takdir Yusuf. Jika Ramanujan menemukan karya Carr dan Slamet terlecut “Berpikir dan berjiwa besar”, maka gairah analitis Yusuf terpantik oleh kisah pelik misteri dalam novel-novel detektif lawas yang didapatinya sewaktu remaja.
Ramanujan, Slamet, dan Yusuf memang punya cerita hidup dan prestasi yang berbeda. Namun kisah mereka juga merupakan perjalanan aneka pustaka yang berkelindan dengan agen sejarah yang bernama manusia pembelajar.
Takdir Pustaka dan Manusia yang Membaca
Buku memang tak bisa memilih takdirnya sendiri, tetapi ia selalu punya cara untuk menemukan pembacanya. Ada yang bersua di rak-rak perpustakaan berdebu, ada yang tanpa sengaja menemukan di tumpukan loakan, atau seperti Slamet, di masjid tempat ia berteduh.
Setiap halaman yang terbuka adalah awal dari perubahan, entah kecil atau besar. Dan di sanalah keajaiban pustaka bekerja—ia tidak memaksa, tetapi diam-diam meresap, mengendap dalam pikiran, lalu suatu hari menyala menjadi gagasan atau keputusan yang mengubah arah hidup.