Hal itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Pers, bahwa kewenangan menyelesaikan sengketa pers berada di Dewan Pers.
Begitu juga, Pasal 34 F ayat (2) huruf (e) mengatur penyelenggara platform digital penyiaran dan/atau platform teknologi penyiaran lain, wajib memverifikasi konten siarannya ke KPI sesuai Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Isi Siaran (SIS).
Penyelenggara penyiaran yang dimaksud dalam pasal ini termasuk kreator yang menyiarkan konten lewat Youtube, TikTok, atau media berbasis user generated content (UGC) lainnya.
Terdapat pula, Pasal 50B ayat (2) huruf (c) melarang penayangan eksklusif hasil produk jurnalistik investigasi. Pasal 50B ayat (2) huruf (k) dilarang membuat konten siaran, yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik. Pasal 51 huruf E yang mengatur penyelesaian sengketa jurnalistik, berdasarkan keputusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan.
Aturan tersebut berpotensi menimbulkan dualisme antara Dewan Pers dan KPI, karena dapat memutuskan aduan terkait sengketa jurnalistik.
Atas hal tersebut, Komunitas Pers Balikpapan menyatakan sikap, menolak pembahasan RUU Penyiaran, karena cacat prosedur dan merugikan publik, serta jadi pintu masuk bagi aturan-aturan yang tidak sesuai dengan kebebasan pers.

Mendesak DPR untuk menghentikan pembahasan RUU Penyiaran, karena bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan penuh multi tafsir serta dapat mengkriminalisasi pers.
Meminta DPR untuk melibatkan partisipasi publik dan berpedoman pada UU Pers, dalam pembuatan regulasi tentang Pers. Ini merupakan pernyataan sikap dari insan pers Balikpapan.





