BorneoFlash.com, TANA PASER – Peringatan Hari Santri Nasional (HSN) setiap tahunnya, yang telah ditetapkan oleh Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015, menjadi momen penting bagi peran santri dalam merayakan semangat dan dedikasi mereka sebagai pahlawan pendidikan dan pejuang kebodohan.
Tema HSN tahun ini, ‘Jihad Santri Jayakan Negeri’, menggambarkan semangat perjuangan para santri dalam mendukung kemajuan bangsa.Ketua DPRD Paser, Hendra Wahyudi, menegaskan bahwa HSN memiliki hubungan erat dengan perjuangan ulama dalam mendukung kemerdekaan RI.
“Ditetapkannya Hari Santri Nasional bertujuan untuk mengenang dan meneladani semangat jihad para santri dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, seperti yang digelorakan oleh para ulama,” ungkap Hendra kepada BorneoFlash.com pada Minggu (22/10/2023).
Pemilihan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional juga mengacu pada peristiwa bersejarah yang diumumkan oleh Pahlawan Nasional KH Hasyim Asy’ari.
“Seruan ini merupakan resolusi jihad bagi umat Islam, untuk melawan tentara sekutu yang berusaha kembali menjajah wilayah Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan,” jelas Hendra, yang juga menjabat sebagai Panglima Santri Kabupaten Paser.
Dalam konteks perkembangan teknologi yang pesat, Hendra menilai bahwa makna jihad telah berubah, tidak lagi hanya merujuk pada pertempuran fisik, melainkan juga menjadi perjuangan intelektual bagi umat Islam.
“Selamat Hari Santri Nasional, saya mengajak seluruh santri, pondok pesantren, kyai, ulama, dan masyarakat untuk terus berjuang membangun negeri dengan semangat jihad intelektual di era transformasi digital ini,” ajaknya.
Hendra menyoroti peran penting santri sebagai garda terdepan dalam melawan ketidakpahaman, kebodohan, dan ketertinggalan, sambil menjadi pejuang ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan sebagai senjata utama.
Dalam tradisi Islam, jihad intelektual digunakan untuk membela nilai-nilai keadilan, perdamaian, dan pengetahuan.
“Para santri dianggap sebagai contoh utama dalam menjalankan jihad intelektual ini, dengan buku sebagai senjata dan pena sebagai alat untuk penyebaran pengetahuan,” tutup Hendra. (Adv/Joe)