Ada Apa dengan Islam? Dulu Jaya Bercahaya dengan Ilmu Pengetahuan dan Sekarang Redup oleh Dogma

oleh -
Editor: Ardiansyah
Ilustrasi by Freepik
Ilustrasi by Freepik

BorneoFlash.com, OPINI – Peradaban Islam pada masa lalu dikenal sebagai pusat kemajuan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, di mana akal dan wahyu berjalan harmonis menghasilkan masa keemasan yang bercahaya bagi umat manusia.

 

Tokoh-tokoh ilmuwan Muslim seperti Al-Farabi, Al-Ghazali, Ibnu Sina, dan Ibnu Rushd mengintegrasikan filsafat dan agama sehingga ilmu pengetahuan berkembang pesat. 

 

Namun, dalam beberapa abad terakhir, terjadi pergeseran di mana ruang pemikiran kritis dan penggunaan akal mulai dibatasi oleh pendekatan dogmatis yang lebih kaku.

 

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa cahaya kejayaan pengetahuan itu redup dan digantikan oleh dogma yang menyempitkan perspektif? Dalam konteks ini, penting untuk menggali bagaimana penggunaan akal dalam beragama, sebagaimana diajarkan para filsuf Islam klasik, dapat menjadi kunci agar Islam kembali berjaya dan relevan pada masa kini.

 

Di masa keemasan Islam, penggunaan akal tidak hanya diterima tetapi bahkan diagungkan. Al-Farabi dan Ibnu Rushd (Averroes) mempertegas bahwa akal adalah anugerah Tuhan untuk manusia dalam memahami wahyu. 

 

Ibnu Sina dalam karya-karyanya membuktikan bahwa ilmu kedokteran dan filsafat dapat bersinergi dengan ajaran Islam. Al-Ghazali, meskipun dia juga kritis terhadap beberapa aspek filsafat, tidak menolak penggunaan akal tetapi mengintegrasikannya dalam kerangka spiritual dan teologi. Masa tersebut menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan bukanlah ancaman bagi agama, melainkan bagian dari ibadah dan pengabdian kepada Tuhan.

 

Sayangnya, dinamika sosial-politik dan budaya yang kompleks menyebabkan munculnya pendekatan dogmatis yang membatasi kebebasan berpikir. Kondisi ini menyebabkan stagnasi intelektual di dunia Muslim, memudarkan peran akal dan menggantikannya dengan dogma yang kaku, sehingga perkembangan ilmu pengetahuan pun terhambat. Penekanan pada dogma menimbulkan fanatisme yang tidak memberi ruang dialog antara ilmu dan agama.

Baca Juga :  Menjaga Integritas, Menegakkan Keadilan: Tanggung Jawab Generasi Muda dalam Profesi Hukum

 

Pentingnya Penggunaan Akal dalam Beragama

Filsuf dan teolog Islam sejak lama mengajarkan pentingnya keseimbangan antara akal dan wahyu. Al-Ghazali dalam karyanya Tahafut al-Falasifa menegaskan perlunya akal untuk memahami batas-batas ilmu dan wahyu.

Simak berita dan artikel BorneoFlash lainnya di  Google News

Jangan ketinggalan berita terbaru! Follow Instagram  dan subscribe channel YouTube BorneoFlash Sekarang

No More Posts Available.

No more pages to load.