BorneoFlash.com, OPINI – Ada satu hari dalam sejarah bangsa ini yang selalu menggetarkan hati, yakni 28 Oktober 1928.
Hari ketika sekelompok anak muda, dengan segala keterbatasannya, menyalakan obor yang kelak menerangi seluruh nusantara. Mereka mengikrarkan “Satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa — Indonesia.”
Ikrar itu sederhana, namun maknanya begitu dalam. Ia bukan sekadar kata, melainkan kesadaran akan pentingnya persatuan dalam keberagaman.
Dan hari ini, di tengah dunia yang terus berubah, semangat itu tetap relevan — terutama bagi kami, para Mediator Pengadilan Agama, yang setiap harinya berusaha menghadirkan perdamaian di tengah perbedaan.
Menjadi Mediator: Menyemai Damai, Menyelami Hati
Menjadi seorang Mediator bukan sekadar memahami peraturan atau pasal-pasal yang tertulis dalam buku hukum. Lebih dari itu, menjadi Mediator berarti belajar untuk menyelami rasa, menyejukkan jiwa, dan menumbuhkan pengertian.
Seorang Mediator memang harus memiliki tiga pilar utama, yaitu:
- Menjaga Netralitas – tidak memihak siapa pun, meski hati tergerak oleh simpati.
- Menjaga Kenyamanan, menciptakan ruang dialog yang hangat, di mana setiap pihak merasa aman untuk berbicara.
- Menjaga Kerahasiaan – menghormati kepercayaan yang telah diberikan oleh para pihak yang berperkara.
Namun di balik itu semua, masih ada hal yang lebih halus namun sangat penting. Seorang Mediator harus memiliki kecakapan diri, kemampuan untuk mengendalikan pikir, rasa, dan ucap.
Karena bagaimana mungkin kita menuntun orang menuju damai, bila di dalam diri kita sendiri masih ada gelombang yang belum tenang?





