Singkatnya, sistem sekolah yang kaku saat ini berkontribusi besar dalam merusak sudut pandang manusia Indonesia. Bila pola pendidikan ini terus dipertahankan, kita akan menghasilkan generasi yang hanya patuh mengikuti aturan tanpa berpikir kritis, lebih mementingkan angka daripada pemahaman, takut salah, dan kehilangan makna hidup.
Kritik terhadap sistem ini sangat sesuai dengan teori Paulo Freire, seorang pendidik dan filsuf yang mengembangkan konsep pendidikan kritis.
Paulo Freire mengkritik sistem “banking education,” yaitu model pendidikan di mana guru dianggap sebagai pemberi ilmu dan siswa sekadar objek yang harus diisi ilmu tanpa berpartisipasi aktif.
Dalam opini ini, sekolah Indonesia menerapkan pola seperti itu: siswa diajarkan untuk patuh dan menerima materi, bukan untuk berpikir kritis dan menciptakan dialog. Freire menekankan bahwa pendidikan harus menjadi proses pembebasan, bukan penindasan, agar siswa mampu membangun kesadaran kritis terhadap realitas.
Paulo Freire juga menyoroti pentingnya ruang bagi kesalahan dan kegagalan dalam proses belajar. Dalam sistem yang kaku, kesalahan dianggap sebagai sesuatu yang harus dihindari, sehingga siswa enggan bereksperimen dan mengembangkan kreativitasnya.
Freire menegaskan bahwa kesalahan justru bagian penting dalam membangun kesadaran kritis dan kebebasan berpikir. Pembelajaran harus membuka ruang bagi diskusi, pertanyaan, dan kesempatan belajar dari kesalahan.
Terakhir, Freire mengajarkan bahwa pendidikan harus menjadi proses pencarian makna kehidupan. Sekolah seharusnya membuka ruang dialog yang menghubungkan ilmu dengan pengalaman nyata dan konteks sosial siswa. Namun realitas sekolah di Indonesia yang menekankan hafalan dan ujian membuat siswa kehilangan semangat mencari makna dan tujuan hidup.
Freire mengajak kita untuk menciptakan pendidikan yang dialogis dan kontekstual sehingga siswa dapat mengembangkan pemahaman kritis dan empati sosial.
Kesimpulannya, teori Paulo Freire memberikan kerangka penting untuk memahami bagaimana sistem sekolah yang kaku membentuk sudut pandang manusia Indonesia yang pasif, takut salah, dan kehilangan makna dalam belajar.
Reformasi pendidikan harus mengarah pada model pembelajaran yang membebaskan, dialogis, dan kritis agar generasi muda Indonesia mampu berkembang sebagai individu yang sadar dan berdaya.
Saatnya kita merombak sistem sekolah menjadi lebih fleksibel, kreatif, dan bermakna agar manusia Indonesia berkembang dengan wawasan luas dan jiwa kritis. (*)
Nama Penulis: Agus Priyono Marzuki S.Pd
Profesi: Guru
No WhatsApp: 085792185490
Email: agus16priyono.marzuki@gmail.com





