“Apabila sampel dinyatakan aman, barulah makanan boleh disalurkan. Namun jika ditemukan indikasi masalah, makanan tersebut langsung dinyatakan tidak layak konsumsi,” tegasnya.
Selain itu, fasilitas kesehatan tingkat pertama seperti puskesmas disiapkan untuk penanganan awal apabila terjadi dugaan keracunan.
Rumah sakit juga ditunjuk sebagai rujukan jika kasus masuk kategori kejadian luar biasa (KLB).
Dinkes menerima laporan mingguan dari puskesmas terkait potensi insiden, termasuk KLB pangan.
Jaya menambahkan, risiko alergi juga perlu diwaspadai meskipun sifatnya berbeda dengan keracunan makanan. “Alergi bersifat spesifik, misalnya terhadap seafood atau kepiting. Sementara itu, makanan basi dapat membahayakan semua orang,” jelasnya.
Dari sisi penyediaan bahan pangan, pemerintah daerah memastikan penggunaan produk lokal seperti telur, sayur, serta ikan gabus atau haruan.
Selain meningkatkan kualitas gizi, langkah ini juga mendukung perekonomian masyarakat.
Kerja sama dengan Dinas Pangan terus diperkuat guna menjamin rantai pasok yang sehat, mulai dari sanitasi, distribusi, hingga penyimpanan.
“Yang terpenting adalah memastikan keamanan pangan. Jangan sampai tujuan baik program ini justru terganggu karena kelalaian dalam penanganan makanan,” tutup Jaya.






