BorneoFlash.com, JAKARTA – Analis mata uang sekaligus Direktur Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuabi, menyebut rupiah melemah karena pelaku pasar memilih bersikap wait and see terhadap arah kebijakan moneter bank sentral.
Pada perdagangan Senin sore, rupiah ditutup turun 40,50 poin atau 0,25 persen ke level Rp16.414 per dolar AS, dibandingkan posisi sebelumnya Rp16.375 per dolar AS.
Ibrahim menjelaskan, data terbaru Amerika Serikat (AS) memberi The Fed alasan kuat untuk melonggarkan kebijakan moneter. Indeks Harga Konsumen (IHK) AS Agustus 2025 memang menunjukkan inflasi utama masih sedikit tinggi, tetapi tren ekonomi secara keseluruhan melambat.
Menurutnya, data itu menepis kekhawatiran The Fed atas inflasi yang selama ini dikhawatirkan, sekaligus menyoroti meningkatnya risiko penurunan lapangan kerja. Ia menegaskan, pemangkasan suku bunga The Fed sebesar 25 basis poin pekan ini hampir pasti terjadi.
Di sisi lain, ketegangan geopolitik kembali memanas setelah Ukraina menyerang infrastruktur minyak Rusia, termasuk terminal ekspor utama di Primorsk dan kilang besar Kirishinefteorgsintez.
Ibrahim menilai, serangan itu berpotensi menghentikan produksi minyak Rusia dalam jumlah besar dan mengganggu pasokan ke pasar utama seperti India dan China.
Sementara itu, fokus pelaku pasar kini tertuju pada upaya AS meredakan perang Rusia–Ukraina, meski Moskow sudah menyatakan perundingan gencatan senjata dengan Kyiv terhenti.
Dari dalam negeri, Ibrahim menegaskan pemerintah menyiapkan paket stimulus ekonomi yang akan digelontorkan akhir tahun, meski nilai pastinya belum ditentukan.
Beberapa kebijakan yang sedang disusun mencakup perluasan insentif PPh 21 ditanggung pemerintah (DTP). Insentif ini sebelumnya hanya berlaku untuk pekerja sektor padat karya dengan gaji di bawah Rp10 juta per bulan.
Ibrahim menambahkan, publik tidak perlu khawatir jika target pertumbuhan tidak tercapai karena kebijakan fiskal masih mampu menopang percepatan pembangunan.
Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,2 persen (yoy) sepanjang 2025. Ia menekankan, saldo anggaran lebih (SAL) pemerintah masih cukup besar, meski Rp200 triliun sudah dipindahkan dari Bank Indonesia (BI) kelima bank Himbara untuk mendorong kredit sektor riil. (*/ANTARA)


 
													


