Lewat WTO, RI Tekankan Pentingnya Kepatuhan terhadap Hukum Internasional kepada Jerman

oleh -
Penulis: Berthan Alif Nugraha
Editor: Janif Zulfiqar
Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) Indonesia, Arif Havas Oegroseno, dan Menteri Luar Negeri Jerman, Johann Wadephul, berfoto bersama setelah menjadi pembicara dalam diskusi publik bertema "Pandangan Kebijakan Luar Negeri Jerman di Indo-Pasifik." di Jakarta (20/8/2025). Foto: ANTARA/Kuntum Riswan
Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) Indonesia, Arif Havas Oegroseno, dan Menteri Luar Negeri Jerman, Johann Wadephul, berfoto bersama setelah menjadi pembicara dalam diskusi publik bertema "Pandangan Kebijakan Luar Negeri Jerman di Indo-Pasifik." di Jakarta (20/8/2025). Foto: ANTARA/Kuntum Riswan

BorneoFlash.com, JAKARTA – Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) Indonesia Arif Havas Oegroseno menekankan pentingnya tatanan berbasis hukum internasional dalam perundingan subsidi sektor perikanan di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

 

Havas menyampaikan pandangan tersebut dalam diskusi publik bertajuk “Pandangan Kebijakan Luar Negeri Jerman di Indo-Pasifik” yang digelar di Jakarta, Rabu, dan dihadiri Menteri Luar Negeri Jerman Johann Wadephul.

 

Ia menegaskan bahwa nilai bersama yang dijunjung Indonesia dan Jerman adalah supremasi hukum internasional. Namun, ia juga mengingatkan adanya ancaman karena hukum internasional saat ini kerap dimanipulasi.

 

Havas mencontohkan adanya pihak-pihak yang berhasil memasukkan dua frasa “praktik historis” dalam negosiasi subsidi di WTO.

 

Menurutnya, WTO tidak sepenuhnya memahami dinamika geopolitik di kawasan Indonesia maupun di belahan dunia lainnya.

 

Akibatnya, WTO kini membahas opsi yang memungkinkan negara memberikan subsidi kepada nelayan di luar yurisdiksi nasional, asalkan bisa membuktikan adanya praktik historis.

 

“Indonesia memiliki praktik historis sejak abad ke-2. Jika aturan ini diterapkan, situasinya bisa menjadi ancaman serius bagi kita,” ujar Havas.

 

Karena itu, ia meminta tim perunding Jerman yang aktif dalam negosiasi subsidi perikanan WTO untuk meninjau kembali isu tersebut.

 

Havas mengingatkan bahwa meski semua pihak sering menekankan hukum internasional, proses perumusan aturan kerap tidak mempertimbangkan dampak nyata bagi negara-negara.

 

Konferensi Tingkat Menteri ke-12 WTO di Jenewa, Swiss, tahun 2022 sebelumnya telah menyepakati dua dari tiga pilar subsidi perikanan, yakni Pilar 1 tentang Illegal Unreported Unregulated Fishing (IUU Fishing) dan Pilar 2 tentang Overfishstock.

 

Kesepakatan itu dianggap sebagai kemajuan besar dalam melindungi laut dengan melarang subsidi yang merugikan.

Baca Juga :  Misteri Alam Terungkap: Berlian Usia Miliaran Tahun Ditemukan di Botswana

 

Namun, Indonesia belum meratifikasi perjanjian tersebut karena bertentangan dengan sejumlah undang-undang nasional.

 

Salah satunya adalah Pasal 18 UU 7/2016 yang mengatur bahwa pemerintah pusat maupun daerah wajib menyediakan prasarana untuk usaha perikanan dan pergaraman.

 

Jika Indonesia menyetujui perjanjian WTO tersebut, maka pemerintah tidak lagi berwenang memberikan subsidi atau dukungan apa pun kepada nelayan. (*/ANTARA)

Simak berita dan artikel BorneoFlash lainnya di  Google News

Jangan ketinggalan berita terbaru! Follow Instagram  dan subscribe channel YouTube BorneoFlash Sekarang

banner 700x135

No More Posts Available.

No more pages to load.