BorneoFlash.com, JAKARTA – Analis mata uang Doo Financial Futures, Lukman Leong, menilai pelemahan rupiah dipicu langkah S&P yang mempertahankan peringkat kredit Amerika Serikat (AS) tetap di level AA+.
Menurutnya, keputusan tersebut langsung menguatkan posisi dolar AS di pasar global. S&P menegaskan bahwa AS masih mampu menjaga kualitas kredit meski menghadapi tekanan fiskal akibat kebijakan pemotongan pajak.
Lembaga pemeringkat itu menilai pendapatan tarif mampu menutupi pelemahan sisi fiskal.
Data Anadolu mencatat, kebijakan tarif AS menghasilkan pendapatan sebesar 135 miliar dolar AS hingga Juli 2025. Saat Trump mulai menjabat pada Januari 2025, penerimaan tarif bersih bulanan tercatat 7,3 miliar dolar AS.
Angka itu turun tipis menjadi 7,2 miliar dolar AS pada Februari, lalu meningkat ke 8,2 miliar dolar AS pada Maret.
Memasuki April, pendapatan melonjak drastis menjadi 15,6 miliar dolar AS, kemudian naik beruntun menjadi 22,2 miliar dolar AS pada Mei, 26,6 miliar dolar AS di Juni, hingga 27,7 miliar dolar AS pada Juli.
Selain faktor eksternal, rupiah juga tertekan oleh sikap investor yang menunggu arah kebijakan moneter The Fed. Gubernur The Fed, Jerome Powell, menyampaikan pidato bernada hawkish.
Menurut Lukman, pasar masih menanti apakah Powell akan menilai kenaikan inflasi akibat tarif hanya bersifat sementara atau berkelanjutan.
Investor juga mencermati apakah tekanan politik dari Trump dapat memengaruhi sikap Powell.
Dari sisi domestik, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) diperkirakan tetap mempertahankan suku bunga acuan di level 5,25 persen.
Dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, Lukman memprediksi rupiah akan bergerak di kisaran Rp16.150–Rp16.300 per dolar AS.
Pada pembukaan perdagangan Rabu di Jakarta, rupiah melemah 57 poin atau 0,35 persen ke level Rp16.302 per dolar AS dibanding penutupan sebelumnya di Rp16.245 per dolar AS. (*/ANTARA)