Jasmin, salah satu pengunjung yang baru pertama kali mencicipi liberika, menggambarkannya sebagai “perpaduan antara kopi arabika dan robusta.”
Namun, rembuk komunitas juga mengungkap sejumlah tantangan, khususnya di Kalimantan Timur dan IKN, seperti keterbatasan lahan budidaya, rendahnya produksi akibat minimnya budaya bertani kopi secara profesional, serta sulitnya mencari tenaga pemetik.
Kondisi ini kontras dengan Bondowoso yang memiliki ekosistem kopi lebih mapan. Petani di sana memanfaatkan lahan perhutanan sosial secara optimal, bahkan banyak petani milenial yang meraup pendapatan di atas Rp100 juta per tahun.
Pelaku usaha kuliner di Samarinda, Sigit, juga menyoroti pasokan bahan baku liberika yang belum stabil. Sementara kalangan perguruan tinggi mendorong kolaborasi lintas pihak untuk mengembangkan budidaya liberika secara terintegrasi dari hulu hingga hilir.

Lima rencana aksi strategis yang disepakati meliputi inventarisasi petani dan lahan, standarisasi pascapanen, riset varietas, pembentukan wadah komunitas nasional, hingga penyelenggaraan kompetisi kopi liberika di IKN pada Hari Kopi Sedunia.
Lebih dari sekadar komoditas, kopi liberika membawa narasi tentang keberagaman rasa, inovasi pertanian, dan kebanggaan daerah. Dari hutan Kalimantan hingga panggung internasional, OIKN berkomitmen menjadikan kopi liberika bagian dari denyut ekonomi kreatif sekaligus identitas kota dunia untuk semua. (*/Humas Otorita IKN)