Kanker Ovarium, ‘Silent Killer’ di Dunia Ginekologi

oleh -
Penulis: Berthan Alif Nugraha
Editor: Janif Zulfiqar
Ilustrasi. Kanker Ovarium. Foto: ANTARA/HO-PIXABAY/PDPics
Ilustrasi. Kanker Ovarium. Foto: ANTARA/HO-PIXABAY/PDPics

BorneoFlash.com, LIFESTYLE – Dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi Konsultan Onkologi, dr. Muhammad Yusuf, Sp.OG(K) Onk, menyatakan bahwa kanker ovarium masih menjadi penyebab kematian tertinggi dari seluruh jenis kanker ginekologi.

 

Ia menjelaskan bahwa Indonesia termasuk dalam 10 negara dengan jumlah kasus kanker ovarium tertinggi di dunia, berdasarkan data World Cancer Research Fund, dengan 15.130 kasus baru setiap tahun.

 

“Mayoritas pasien baru terdiagnosis pada stadium tiga atau empat, karena gejala awal penyakit ini tidak spesifik. Akibatnya, penanganan medis biasanya harus langsung melalui operasi atau kemoterapi,” ungkap dr. Yusuf dalam pernyataannya di Jakarta, Kamis.

 

Ia menekankan bahwa berbagai pemangku kepentingan perlu meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai ancaman kanker ovarium agar bisa menekan laju pertumbuhan kasus.

 

Sebagai anggota Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), dr. Yusuf juga menambahkan bahwa risiko kekambuhan kanker ovarium tetap tinggi meski pasien telah menjalani kemoterapi awal, bahkan mencapai 70 persen dalam tiga tahun pertama.

 

Pada stadium lanjut, pasien umumnya harus menjalani operasi besar untuk mengangkat satu atau kedua ovarium, tuba falopi, rahim, dan semua jaringan kanker yang terlihat. Setelah itu, pasien harus menjalani kemoterapi lanjutan untuk membasmi sisa sel kanker.

 

Ketika pasien telah menyelesaikan kemoterapi awal dan masuk fase remisi, tenaga medis akan fokus menjaga agar pasien tidak mengalami kekambuhan, demi mempertahankan kualitas hidup.

 

Namun, dr. Yusuf mengingatkan bahwa pada stadium lanjut, tingkat kekambuhan tetap tinggi meski sudah ada pengobatan lini pertama. Pasien biasanya harus menjalani kemoterapi ulang, yang sering kali dibarengi dengan masa remisi lebih singkat dan peningkatan risiko kematian.

Baca Juga :  New Cafe Kilang Mandiri, Ayam Geprek Jadi Menu Andalan

 

Beberapa pasien juga dapat menjalani terapi target setelah kemoterapi, tergantung dari hasil pemeriksaan dokter.

 

Direktur Medis AstraZeneca Indonesia, dr. Freddy, menambahkan bahwa perawatan yang terpersonalisasi setelah operasi dan kemoterapi merupakan langkah tepat. Menurutnya, mengantisipasi kekambuhan bisa meningkatkan peluang hidup pasien secara signifikan. (*)

Simak berita dan artikel BorneoFlash lainnya di  Google News

banner 700x135

No More Posts Available.

No more pages to load.