Minimnya minat terhadap kesenian tradisional, terutama di kalangan remaja dan pemuda, menurut Kevin, bukan karena mereka tidak peduli.
Namun, akses terhadap pendidikan budaya dan kurangnya representasi peran anak muda dalam kesenian turut memengaruhi.
“Banyak dari mereka sebenarnya tertarik, tapi tidak tahu harus mulai dari mana. Karena itu, saya ingin hadir sebagai contoh bahwa budaya bisa dijalani dengan bangga, bahkan bisa membuka banyak peluang,”tuturnya.
Ia menyebut, dalam beberapa tahun terakhir, mulai terlihat peningkatan keterlibatan siswa SD hingga SMA dalam kegiatan seni budaya, termasuk tari. Namun jumlahnya masih belum sebanding dengan populasi muda di daerah.
“Masih banyak PR kita bersama. Butuh dukungan dari semua pihak lembaga seni, sekolah, hingga pemerintah agar seni tradisional tidak hanya jadi pelengkap acara, tetapi menjadi bagian penting dari kehidupan generasi muda,”kata Kevin.
Melalui sanggar tempat ia bernaung, Kevin kerap menginisiasi pertunjukan yang mengangkat kekayaan budaya Indonesia.
Ia juga terlibat dalam pelatihan cepat, pembuatan kostum internal, hingga penyusunan narasi pentas, semua dilakukan secara mandiri bersama tim kecil.
“Bagi saya, seni adalah bentuk perlawanan yang paling tenang. Kita tidak berteriak, tapi kita menyampaikan pesan dengan tubuh dan gerakan,”tutupnya. (*)