“Penambahan biaya sebesar ini tentu saja akan membebani anggaran daerah. Kami berharap kasus seperti ini tidak terulang, karena setiap rupiah dari anggaran publik harus dikelola secara efektif dan efisien,”tambahnya.
Menanggapi kritik tersebut, pihak pelaksana proyek melalui perwakilannya, Prasetyo Nur, menjelaskan bahwa saat ini fokus utama mereka adalah memperkuat struktur lereng terowongan yang mengalami kerawanan.
Salah satu langkah teknis yang tengah disiapkan adalah memperpanjang konstruksi pada bagian inlet dan outlet terowongan sepanjang 72 meter.
“Langkah ini bertujuan untuk memperkuat kestabilan lereng, sehingga risiko longsor dapat ditekan. Proyek ini dimulai akhir 2022 dan kami menargetkan penanganannya selesai pada Desember 2025,”terang Prasetyo.
Ia merinci bahwa penanganan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama senilai Rp39 miliar telah dilakukan dengan metode regrading lereng serta pemasangan beton cor di tempat.
Tahap kedua akan dilaksanakan pada tahun 2026 dengan nilai sekitar Rp94 miliar, meliputi pemasangan ground anchor, drainase, serta sistem penguatan tambahan.
Prasetyo juga mengungkapkan bahwa indikasi awal longsor muncul pada Februari 2025, ditandai dengan retakan di sekitar badan terowongan.
Merespons hal tersebut, PT PP menggandeng tim ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk melakukan investigasi mendalam yang berlangsung hingga Mei 2025.
“Hasil kajian teknis dari tim ITB telah kami rampungkan pada Juni hingga Juli, dan saat ini tengah menunggu persetujuan dari Pemerintah Kota Samarinda untuk segera direalisasikan di lapangan,”pungkasnya. (*)