BorneoFlash.com, OPINI – Beberapa hari ini, isu intoleransi dan radikalisme kembali muncul, misalnya ketika terdapat makam atau kuburan agama lain dirusak oleh orang yang sebelumnya belum diketahui pelakunya.
Kemudian muncullah narasi “perusakan kuburan adalah puncak intoleransi”, tetapi setelah diketahui ternyata pelakunya adalah agama yang sama.
Selain itu muncul berita terkait monsterisasi bendera tauhid yang selalu dilekatkan pada organisasi dakwah yang damai, intelektual dan santun yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Padahal bendera tauhid adalah milik umat, mereka menbangun narasi monsterisasi yang menyudutkan bendera tauhid dan HTI.
Filsuf dan sejarawan Patrick Boucheron dan Corey Robins dalam “The Exercise of Fear: Political Uses of an Emotion”, mengingatkan bahwa demi kekuasaan politik, pihak-pihak yang memiliki kekuasan dan kewenangan sering bersandar pada ketakutan dan mekanisme untuk terus membangkitkan, memperburuk, serta menguatkan narasi-narasi tersebut .
“Kekuatan politik terus memanfaatkan ketakutan, baik dengan menunjuk ancaman yang dianggap berpotensi melemahkan kesatuan nasional, atau dengan memfokuskan perhatian penduduk pada kekuatan politik yang berpotensi mampu memecah semangat kebangsaan dan cara hidup kita.”
“Ketakutan adalah proyek politik yang berkembang melalui pembangunan tatanan, wacana ideologis dan tindakan kolektif.”
Sejarawan agama yang produktif, Karen Armstrong juga berpendapat sama. Dalam buku “Fields of Blood” Ia menyatakan bahwa agama telah “dikambing hitam kan” untuk kekerasan yang sebenarnya tertanam dalam sifat ketamakan manusia, dan sifat kekuasaan negara.
Penulis sangat yakin bahwa rezim Pemerintahan Prabowo tidak akan menggunakan isu-isu intoleransi, radikalisme dan lain-lain. Oleh karena itu Presiden sepatutnya mengontrol pihak-pihak yang berada didalam pemerintahan untuk tidak menggunakan isu-isu tersebut.
Demikian,
(*)
Penulis: Chandra Purna Irawan
(Ketua LBH PELITA UMAT)