BorneoFlash.com, JAKARTA – Tupperware Brands mengajukan kebangkrutan di Delaware, AS, setelah mengalami kerugian besar dan penurunan permintaan yang signifikan.
Perusahaan ini melihat penjualan menurun setelah mencoba strategi baru dengan menempatkan produk di toko ritel dan platform daring, meninggalkan pendekatan tradisional “Pesta Tupperware” yang sebelumnya populer.
Tupperware memiliki utang sebesar US$812 juta (sekitar Rp12,4 triliun), dan para pemberi pinjaman mulai menyita aset, termasuk mereknya. Mereka menghadapi kenaikan biaya tenaga kerja, pengiriman, serta bahan baku seperti resin plastik setelah pandemi, yang semakin membebani operasional.
Meskipun begitu, perusahaan berencana tetap beroperasi dan membuka proses penawaran selama 30 hari untuk mencari investor baru.
Tupperware diperkirakan memiliki aset senilai US$500 juta hingga US$1 miliar, sementara kewajiban mereka berkisar antara US$1 miliar hingga US$10 miliar.
Analis keuangan James Gellert menyatakan bahwa kondisi keuangan Tupperware, dengan penurunan penjualan dan margin keuntungan yang menyusut, terlalu terbebani untuk bertahan tanpa restrukturisasi besar-besaran.
Perusahaan ini pernah mencapai kejayaan di AS pada 1950-an, ketika para wanita menjual produknya sebagai bentuk pemberdayaan. Namun kini, Tupperware berjuang menyesuaikan diri dengan selera konsumen modern yang berubah. (*)