Penyelenggara penyiaran yang dimaksud dalam pasal ini termasuk kreator yang menyiarkan konten lewat Youtube, TikTok, atau media berbasis user generated content (UGC) lainnya.
Terdapat pula, Pasal 50B ayat (2) huruf (c) melarang penayangan eksklusif hasil produk jurnalistik investigasi. Pasal 50B ayat (2) huruf (k) dilarang membuat konten siaran, yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik
Pasal 51 huruf E yang mengatur penyelesaian sengketa jurnalistik, berdasarkan keputusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan.
“Peraturan tersebut berpotensi menimbulkan dualisme antara Dewan Pers dan KPI, karena dapat memutuskan aduan terkait sengketa jurnalistik,” ucap Debi.
Berdasarkan hal tersebut, Komunitas Pers Balikpapan menyatakan sikap, menolak pembahasan RUU Penyiaran, karena cacat prosedur dan merugikan publik, serta jadi pintu masuk bagi aturan-aturan yang tidak sesuai dengan kebebasan pers.
Selanjutnya, mendesak DPR untuk menghentikan pembahasan RUU Penyiaran, karena bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan penuh multi tafsir serta dapat mengkriminalisasi pers.

Serta, meminta DPR untuk melibatkan partisipasi publik dan berpedoman pada UU Pers, dalam pembuatan regulasi tentang Pers.
Aksi tersebut berakhir setelah permintaan yang diajukan insan pers ditandatangani unsur pimpinan DPRD, dengan dibubuhi stempel DPRD Balikpapan. Unsur pimpinan dan anggota DPRD Balikpapan yang saat itu menemui ikut menggunakan pita hitam di lengan kirinya.