“Kami ingin kehadiran ritel modern tidak menimbulkan konflik dengan pelaku usaha lain. Karena itu, mereka wajib membuka ruang bagi UMKM Samarinda agar bisa berkembang bersama,” tegasnya.
Terkait sistem perizinan berbasis Online Single Submission (OSS), Nurrahmani menjelaskan bahwa mekanisme digital tersebut tidak menjadi kendala selama pelaku usaha tetap mematuhi ketentuan tata ruang yang diatur Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR).
“Apabila lokasi usaha tidak sesuai dengan tata ruang, maka izin tidak dapat dilanjutkan. Pengendalian sebenarnya ada pada aturan daerah, terutama dalam ketentuan RDTR,” terangnya.
Menanggapi usulan DPRD agar Perwali Nomor 9 Tahun 2015 direvisi, Nurrahmani mengakui bahwa beberapa ketentuan memang sudah tidak selaras dengan kondisi terkini.
“Beberapa pasal perlu diperbarui agar lebih relevan dengan situasi saat ini. Usulan tersebut sudah kami catat untuk menjadi bahan evaluasi bersama,” katanya.
Mengenai keluhan pedagang kecil yang merasa terdesak akibat ritel modern yang beroperasi hampir 24 jam, ia menilai diperlukan pembinaan dua arah agar usaha tradisional juga dapat bersaing secara sehat.
“Persaingan usaha seharusnya menjadi dorongan untuk berbenah. Pedagang tradisional perlu meningkatkan penampilan usaha dan mutu pelayanan agar tetap menarik bagi pembeli,” ucapnya.
Sebagai langkah lanjutan, Disdag berencana berkoordinasi dengan Dinas Koperasi dan UKM untuk merancang program peningkatan kapasitas bagi pelaku usaha kecil.
“Kami akan membahasnya bersama pihak koperasi guna menentukan bentuk pembinaan yang paling sesuai. Peningkatan kualitas usaha menjadi kebutuhan mendesak,” jelasnya.
Saat ini, Disdag Samarinda tengah menyiapkan surat edaran resmi bagi seluruh pengelola ritel modern sebagai penegasan kembali larangan beroperasi selama 24 jam penuh sesuai ketentuan Perwali.
“Konsep surat edarannya sudah kami susun dan sedang dalam tahap koreksi akhir. Langkah ini penting untuk menindaklanjuti keluhan warga terkait toko yang buka tanpa batas waktu,” pungkas Nurrahmani.





